TEMPO.CO, Jakarta – Proses revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI telah bergulir di Komisi I DPR. Pembahasan RUU ini dilakukan setelah DPR resmi menetapkannya sebagai program legislasi nasional prioritas atau prolegnas prioritas 2025 lewat rapat paripurna pada Selasa, 18 Februari 2025.
Terdapat berbagai rumusan baru yang diusulkan dalam RUU ini, mulai dari penambahan wewenang TNI hingga batas maksimal usia pensiun. Ada juga klausul yang mengatur perluasan pos jabatan sipil yang bisa diduduki oleh personel militer.
Revisi UU TNI mendapat penentangan keras dari masyarakat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai RUU TNI berisiko menghidupkan kembali dwifungsi militer seperti di era Orde Baru. Salah satu kritik datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang tergabung dalam koalisi tersebut.
“YLBHI sendiri menyatakan dengan tegas kami menolak revisi Undang-Undang TNI yang hendak menghidupkan kembali praktek dwifungsi ABRI, atau bahkan kita bisa bilang mau menghidupkan lagi neo-Orba,” kata Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana saat konferensi pers di gedung YLBHI, Jakarta Pusat, 6 Maret 2025.
Berdasarkan daftar inventaris masalah (DIM) pemerintah yang diperoleh Tempo, berikut beberapa usulan baru untuk revisi UU TNI.
1. Wewenang di Urusan Siber dan Narkotika
Pemerintah mengusulkan penambahan wewenang bagi TNI di ruang siber dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Kedua rumusan ini menjadi tambahan di Pasal 7.
Pasal 7 ayat (2) butir ke-15 menyebutkan salah satu tugas pokok TNI adalah, “Membantu pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman siber.” Kemudian Pasal 7 ayat (2) butir ke-17 mengatur TNI dapat “membantu pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya.”
2. Perluasan Pos Jabatan Sipil
Cakupan jabatan sipil yang dapat diduduki militer kemungkinan diperluas dengan adanya revisi UU TNI. Hal ini termaktub dalam Pasal 47 DIM RUU tersebut.
Pemerintah mengusulkan penambahan lima pos kementerian/lembaga yang dapat diisi prajurit aktif, antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
Sebelumnya, merujuk Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang TNI, prajurit aktif hanya dapat mengisi jabatan sipil di sepuluh kementerian/lembaga yaitu di bidang koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, dan Sekretaris Militer Presiden.
Kemudian, ada pula Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, serta Mahkamah Agung.
Selain penambahan lima pos, dalam rumusan Pasal 47 ayat (2) di DIM RUU TNI, tertulis bahwa prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
3. Penambahan Batas Usia Pensiun
Dengan revisi UU TNI, prajurit militer berpotensi pensiun di usia yang lebih tua. Sebelumnya, seperti diatur dalam Pasal 53 UU TNI, prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama.
Namun, kini pemerintah mengusulkan batas pensiun untuk tamtama paling tinggi 56 tahun, bintara 57 tahun, perwira sampai dengan letnan kolonel 58 tahun, kolonel 59 tahun, perwira tinggi bintang satu 60 tahun, perwira tinggi bintang dua 61 tahun, dan perwira tinggi bintang tiga 62 tahun. Aturan ini dirumuskan dalam Pasal 53 ayat (2) DIM RUU TNI.
Sementara itu, prajurit yang menduduki jabatan fungsional dapat melaksanakan berbagai dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 65 tahun. Pemerintah juga mengusulkan aturan khusus bagi perwira bintang empat, yakni bahwa masa dinas keprajuritannya sesuai dengan kebijakan presiden.
Selain itu, ada usulan perwira yang telah memasuki usia pensiun dan memenuhi persyaratan dapat direkrut sebagai perwira komponen cadangan atau komcad.
Andi Adam Faturahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor : Bertabur Perwira TNI Aktif di Jabatan Sipil