MASYARAKAT adat Mollo menjaga warisan budaya dan lingkungan secara harmonis melalui kehidupan sehari-hari guna berupaya menciptakan solusi berkelanjutan bagi krisis iklim dan pembangunan ekonomi restoratif. Hal itu dijabarkan oleh Marlinda Nau, Randiano Tamelan, dan Wilibrodus Oematan dalam Lokakarya IKLIM: Memperluas Narasi Iklim melalui Musik, Media, dan Budaya Pop.
Pilihan Editor: Efek Rumah Kaca Soroti Peran Musisi di Tengah Dinamika Politik
Seni Memasak dari Tumbuhan di sekitar Hutan Jaga Bumi
Marlinda Nau menuturkan aktivitas sehari-harinya melestarikan budaya memasak dari bahan sayuran dan buah yang ditanam sendiri. Seni memasak yang dilakukannya pun berkembang menjadi berbagai jenis masakan modern Mollo. “Kami bisa makan tanpa ada uang dengan mengambil tumbuhan yang ada di sekitar hutan dan kebun kami kemudian mengolahnya. Dan ini bagian dari budaya yang kami sesuaikan dengan perkembangan hari ini,” katanya di The Plaza Tower, Jakarta pada Rabu, 1 Oktober 2025.
Kemudian Randiano Tamelan, anak muda Mollo, menuturkan mereka menjaga tanah ulayat agar tak rusak dan tak kehilangan penghidupan. Masyarakat Mollo, kata dia, kebanyakan sangat bergantung pada hasil kebun. “Jika tak ada sumber penghidupan di kampung kami bekerja ke tempat lain. Kemudian terkikis identitas kami sebagai masyarakat adat dan terputusnya generasi, sekarang saja sudah sangat jauh jaraknya,” tuturnya.
Menghubungkan Air, Tanah, Batu, dan Pohon
Begitu pula dengan Wilibrodus Oematan mengatakan masyarakat Mollo memiliki filosofi yang menghubungkan air, tanah, batu, dan pohon. “Berangkat dari filosofi Mollo, kami melakukan praktik adat dan agar tetap berlanjut maka harus ada inovasi dan sentuhan modern. Tujuannya untuk peningkatan kualitas hidup lebih baik,” kata dia.
Di tengah krisis iklim, Indonesia menjadi 10 besar penyumbang emisi gas rumah kaca global. Forum IKLIM alias Indonesian Climate Communications Arts & Music Lab sejak 2023 rutin merilis album kompilasi sebagai respons krisis iklim yang terjadi saat ini. “Musik lebih dari sekadar alat hiburan, dari dulu musik bahkan bisa mengubah kebijakan. Musisi punya kemampuan memproduksi musik, teman-teman NGO dan akademisi punya data dan jika keduanya digabungkan bisa menjadi kekuatan besar,” kata Robi Navicula selaku inisiator IKLIM.
Robi menuturkan, seniman bertugas menyentuh hati masyarakat melalui karyanya sementara akademisi menjangkau logika masyarakat melalui data. “Supaya bisa menggerakkan target 3,5 persen populasi Indonesia guna menciptakan titik kritis bagi perubahan yang meluas dan berkelanjutan,” tuturnya.
Para musisi yang mengisi album kompilasi yakni anggota dari Music Declares Emergency yang dimulai di Bali pada 2023. “Sebanyak 43 musisi atau band dari 13 provinsi bergabung secara formal dan komitmen. Bekerjasama dengan 20 seniman visual. Kami juga mendirikan Alarm Records, label musik pertama di Indonesia yang berfokus pada iklim demi berkelanjutan kolektif ini,” kata Robi.

