Thursday, November 6, 2025
Google search engine
HomeHiburanWawancara Kristo Immanuel dan Nirina Zubir: Pelajaran Hidup

Wawancara Kristo Immanuel dan Nirina Zubir: Pelajaran Hidup

TEMPO.CO, Jakarta – Bagi Kristo Immanuel dan Nirina Zubir, tawa bukan sekadar hiburan, melainkan mekanisme bertahan saat luka tak bisa diungkap dengan kata. Kebiasaan menutupi perasaan lewat humor itulah yang menjadi tema dalam film Tinggal Meninggal, karya terbaru yang sekaligus menandai debut Kristo sebagai sutradara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lewat naskah komedi yang absurd namun menyentuh, film ini menggambarkan bagaimana kehilangan dan kesepian bisa menyamar sebagai lelucon. Tinggal Meninggal mengisahkan Gema (Omara Esteghlal), seorang pemuda canggung yang tiba-tiba mendapat perhatian hangat dari rekan-rekan kantornya setelah ayahnya meninggal. Tapi ketika suasana kembali dingin seperti biasa, Gema mulai berpikir, siapa lagi yang harus meninggal agar ia merasa ditemani? Dari situ, rangkaian kebohongan dimulai dan semakin lama, justru makin membawa kekacauan.

Kristo Immanuel dan Nirina Zubir membagikan cerita mereka tentang film Tinggal Meninggal kepada Tempo pada Rabu, 23 Juli 2025. Tokoh utama dalam film yang akan tayang di bioskop mulai Kamis, 14 Agustus 2025 ini sebenarnya memiliki kisah yang cukup mirip dengan pengalaman pribadi Kristo. Nirina juga menjadikan pengalaman membuat film ini untuk merefleksikan diri, khususnya sebagai seorang ibu.

Bagaimana proses kreatif Anda dalam menemukan ide cerita film Tinggal Meninggal?

Kristo Immanuel: Mungkin kalau untuk ide pertamanya itu, awalnya karena sebuah obrolan yang terjadi antara aku dengan istri di mobil. Kita suka ngobrol panjang dan akhirnya waktu itu bikin pertanyaan mengkhayal-khayal gitu. “Nanti kalau misalnya bikin film, kira-kira film pertamamu apa?” Aku selalu tertarik dengan manusia, intinya tuh itu. Aku selalu merasa manusia itu adalah sebuah insan yang menarik.

Orang dibesarkan dengan cara yang sama, adik-kakak, tapi bisa berbeda-beda banget. Awalnya, dari situ berangkatnya. Terus ada satu kejadianku di masa kecil yang menempel sampai besar, yaitu aku pas kecil pernah mau pindah keluar kota, terus tiba-tiba teman-teman sekolahku kasih surat kayak ‘kita bakal kangen sama kamu. Semangat pindah sekolahnya. Berkabar lagi nanti kalau sudah pindah. Kita bakal kehilangan kamu, we’ll miss you’. Terus tiba-tiba nenekku meninggal, akhirnya kami enggak jadi pindah sekolah. Jadi, aku sekolah di sekolah yang sama pas naik kelas. “Loh, kok enggak jadi pindah?” (teman-teman sekolah), “Iya, karena nenekku meninggal.”

Tapi anehnya setelah tidak jadi pindah sekolah dan aku kembali ke sekolah yang sama, orang-orang yang bilang bakal kangen dan segala macam ini ujung-ujungnya enggak temenan sama aku juga. Mereka dengan circlenya masing-masing, dan pas mereka kasih (ucapan) ‘we’ll miss you’ juga beberapa tahun sebelumnya kami enggak pernah nongkrong bareng, enggak pernah main bareng, aku enggak ditemenin (mereka) juga di situ. Jadi, kayak rasa itu menarik banget buatku, bahwa banyak sekali orang-orang pengin kasih perhatian hanya untuk merasakan; ‘gue ini orang yang baik, loh’, ‘gue itu peduli sama lu, loh’, tapi mempertahankannya (pertemanan) tuh enggak mau. 

Aku membayangkan apa yang terjadi kalau yang digituin bukan aku, tapi orang yang benar-benar enggak dapet perhatian, orang yang dari kecil tuh enggak dapat kasih sayang dari orang tua, dari teman, dari sekitarnya. Hal ekstrem apa yang akan mereka lakukan untuk mendapatkan perhatian itu. Jadi, muncullah premis bahwa seorang cowok yang suatu hari di kantornya dapat kabar kalau bapaknya meninggal, tapi dia enggak sedih karena dia engak dekat sama orang tuanya juga. Tiba-tiba, dia yang tadinya enggak dekat sama teman-teman kantornya, teman-teman kantornya jadi memberikan perhatian karena berbelasungkawa. Terus dua minggu dia dapat love language-nya, dia senang. Terus dua minggu berlalu, perhatiannya berkurang dan berkurang, di situ dia berpikir siapa lagi yang harus meninggal supaya aku punya temen. 

Bagaimana respons awal terhadap ide film ‘nyeleneh’ ini?

Kristo Immanuel: Aku sama istri, kita berdua co-writer. Jadi, kami bikin premisnya dulu, lalu menulis sinopsis. Enggak ada niatan untuk ini dijadikan film, awalnya kami berdua niatnya menulis saja untuk menjadi sebuah hobi baru, yang bisa kami kerjakan berdua, karena kami berdua suka melukis, cuman, apa lagi ya yang bisa kami kerjainnya berdua, jadi kami menulis. Tapi, Ko Ernest (Prakasa) ternyata tahu kalau kami lagi menulis. Jadi, Ko Ernest tanya, “Ceritanya tentang apa, To? premisnya, sinopsisnya?” Setelah diceritakan semuanya, Ko Ernest suka. 

Awalnya, di bayanganku mungkin film ini baru dibikin 2032-2035 gitu, mungkin, tapi ternyata Ko Ernest malah, “Yuk, 2024!” awalnya, 2025 jadinya. 

Aku merasa kayaknya ini film tunggu film Indonesia benar-benar stabil banget dulu dan sudah makin ramai, baru aku berani bikin film yang, dalam tanda kutip nyeleneh, gitu. Waktu itu aku insecure juga, “ini ada yang mau nonton enggak ya?”, terus kayak makin ke sini semakin senang dan semakin percaya diri lah bisa dibilang. Karena, ternyata yang excited juga cukup banyak, dan aku bersyukur banget punya penonton Indonesia yang suka sekali dengan ide-ide yang baru. 

Kristo Immanuel dalam kunjungan media untuk mempromosikan film “Tinggal Meninggal” di Tempo, Palmerah, Jakarta, 23 Juli 2025. Tempo/Charisma Adristy

Nirina Zubir: Karena, secara genre-nya aja kan dia (Tinggal Meninggal) komedi getir, itu aja orang kayak, “Hah?” Biasanya, ya sudah dark comedy gitu, tapi ini komedi getir, jadi ya, semoga sekarang ini perfilmannya (Indonesia) sudah lebih siap dan lebih kuat.

Apakah ada tantangan dalam proses syutingnya?

Kristo Immanuel: Aku merasa aktor-aktor di sini (pemeran Tinggal Meninggal) semuanya itu sangat humble ya, maksudnya karena kan sudah sangat lama di industri, terus pengalaman sudah banyak. Jadi, aku sangat deg-degan justru awalnya kayak, “Kak Na (Nirina) mau enggak ya mendengarkan ide-ide aneh ini?” Tapi, ternyata justru Kak Na juga sama anehnya sama aku.

Nirina Zubir: (Tertawa) Jadi kami sama-sama jahil, ternyata kliknya di situ. 

Kristo Immanuel: Iya, betul. Tapi, maksudnya, Kak Na itu sangat terbuka untuk berdiskusi dengan aku. Jadi, karakter mama, ini (Nirina) kan mamanya Gema,ceritanya ya. Mama Gema itu karakter yang sangat unik, karena dia seperti direnggut masa mudanya. Dia harus memiliki anak di umur yang sangat muda, terus menikah dengan suami yang patriarki banget, merasa bahwa laki-laki yang benar, harus nurut sama laki-laki. Terus, suaminya adalah pemegang bisnis MLM bodong, yang jualan investasi bodong. Jadi, dia menggunakan istri dan anaknya sebagai objek yang memperkuat bisnisnya. Kayak, “nih, mau memiliki keluarga bahagia seperti aku, ikut MLM ku,” gitu. 

BACA JUGA:   Angga Yunanda dan Shenina Cinnamon Kerja Sambil Belajar Kehidupan

Jadi, perkembangan karakter mama Gema ini juga menarik, karena mama Gema tuh ibaratnya masa mudanya telat. Pas punya anak, suaminya meninggalkan dia, akhirnya mama Gema, Kak Na memerankannya dengan sangat menarik, menurutku kayak kita melihat seorang ibu yang, “Aku juga mau muda lagi, kemarin masa mudaku diambil”. Ada depth yang diberikan yang menurutku lapisannya tuh banyak sekali dari mama Gema. 

Terus, juga tantangannya adalah tentunya membuat 100 orang (kru) ini percaya dengan visiku, krunya banyak sekali, terus mereka harus mengerjakan sebuah film, yang jahil dan nyeleneh. Bagaimana caranya membuat mereka percaya pada prosesnya, percaya visiku, itu cukup menantang buat aku? Ternyata, itu semua hanya di kepalaku doang, bahwa “Mereka (kru) bakal percaya apa enggak, ya?” ternyata mereka sangat percaya dan mereka mengerjakan dengan sepenuh hati. Aktor-aktornya juga begitu. Omara sebagai Gema dia sangat mendalami karakternya, dia riset sangat dalam. Bahkan, kami berdua membahas psikologi dari Gema ini berbulan-bulan. Jadi, sebelum proses reading berjalan, aku dan Omara ketemu duluan, kami bahas psikologinya Gema.

Awalnya, aku enggak tahu yang mau main jadi Gema siapa, justru enggak kepikiran. 

Nirina Zubir: Di awal yang benar-benar bikin dia (Kristo) bingung adalah, kemungkinan besar kalau enggak ketemu seseorang yang bisa memerankan Gema ini, akhirnya dia yang main nih. Jadi, pilihannya dia yang main dan nge-direct, itu kan dua hal yang, wah untuk film pertama sih berat banget. 

Kristo Immanuel: Ya, makanya untung Omara ketemu ya, kalau enggak, ya ampun. 

Bagaimana meyakinkan Nirina Zubir, seorang pemenang piala Citra untuk main di film komedi getir?

Nirina Zubir: Sebenarnya, aku sudah lama memperhatikan perjalanan Kristo. Wow, steps-nya anak ini seru banget ya, perjalanannya sudah benar-benar seru gitu loh. 

Aku sering lihat orang dan mikir, “Wah, seru ya jadi dia.” Dan waktu tahu Kristo sekarang memilih untuk menyutradarai, aku makin tertarik. Kebetulan juga waktu itu kami ketemu dan ngobrol soal proyek masing-masing. Waktu itu kami enggak bahas panjang, cuman dia bilang, “Lagi bikin ini, Kak.” Setelah pertemuan itu, baru aku dihubungi dia lagi, Kristo bilang, “By the way kak..”

Kristo Immanuel: Kita ketemu di Jogja waktu itu ya?

Nirina Zubir: Iya, di Jogja. Terus aku minta lihat sinopsisnya. Pas aku baca, reaksiku langsung, “Kristo, kamu yakin mau bikin film ini?” Sebagai ibu, aku mikir ini bisa jadi dua hal, entah jadi contoh yang salah, atau pembelajaran yang baik.

Jadi aku tanya, bagaimana caramu menyampaikan cerita ini supaya jadi pembelajaran, bukan sesuatu yang ditiru mentah-mentah? Karena generasi sekarang kan cenderung menjadikan apa yang mereka lihat sebagai standar. Tapi Kristo bisa jawab dengan cara yang menyenangkan dan bertanggung jawab. Aku juga merasa dia punya niat baik. Dia bahkan ajak dua temannya, yang satu content creator, yang satu lagi pemain teater untuk debut pertama bareng di film ini.

Jadi, aku lihat hal-hal positif di Kristo. Dan buat aku, sekarang ini kerja bareng itu soal rasa nyaman dan frekuensi yang cocok. Setelah lihat ada tanggung jawab dari dia, ya sudah, aku oke aja. Walaupun jujur, tantangannya buat aku adalah mereka semua muda-muda banget.

Kristo Immanuel: Tapi, Kak Na gampang banget keep up. Jiwanya tuh muda banget, young and free.

Proses castingnya seperti apa?

Nirina Zubir: Ya lucu sih, dari pertemuan awal aja sudah nyeleneh banget.

Kristo Immanuel: Satu, ketemu pas makan gudeg di Makassar, yang lain pas makan Coto Makassar di Jogja, terus ada juga yang makan bakmi di Uruguay. Jauh banget, ya.

Nirina Zubir: Kalau yang lain kan sudah kenal juga, ya? Aco, misalnya, kamu juga temenan, kan?

Kristo Immanuel: Iya, Aco, Nada, Mario…

Nirina Zubir: Iya, Mario Caesar, Shindy Huang, sama Mawar de Jongh. Semua itu sudah kamu pikirin dari awal?

Kristo Immanuel: Sebenarnya, kalau Omara itu sudah dari awal. Nah, untuk Mama Gema, aku sempat bingung siapa yang cocok mainin. Soalnya karakternya cukup… ya, bisa dibilang kontroversial. Tapi memang semua karakter di film ini, dalam tanda kutip, punya sisi kontroversial masing-masing.

Kristo Immanuel: Jadi bukan manusia-manusia yang sempurna. Lapisannya cukup banyak, jadi aku bingung bagaimana ya, cara memerankan karakter ini, yang beririsan dengan kehidupan nyata. Jadi, kalau bisa dibilang film ini tuh, kemarin FGD (Focus Group Discussion) ada dua kata yang muncul; embarrassingly relatable

Karena ini adalah karakter-karakter yang, pas ditonton tuh, aduh relate lagi, tapi agak malu untuk mengakuinya. Karena ini karakternya, yang di-relate-in tuh bukan kelebihannya doang, tapi flaw, atau kekurangan-kekurangan dari karakter ini tuh muncul. 

Nirina Zubir: Kadang, embarrassingly related ke aku juga. Kenapa aku kalau misalnya memerankan karakter di film-film itu pasti aku pilih dan kukurasi, aku pengin jadi manusia yang kaya rasa. Jadi kayak, yang ini gue enggak tahu sih rasanya kayak gini. Kayak bagaimana ya? Terus kalau maininnya bagaimana ya? Oke, berarti kan akhirnya harus riset sendiri, perhatikan sendiri, enggak mungkin dong kita memerankan sebuah karakter tapi kita tidak percaya dengan peranan atau karakter itu?

Aktor Nirina Zubir dalam kunjungan media di Tempo, Palmerah, Jakarta, 23 Juli 2025. Kunjungan ini untuk mempromosikan film terbaru, “Tinggal Meninggal”. Tempo/Charisma Adristy

BACA JUGA:   Menteri Agama Minta Maaf atas Pernyataannya yang Melukai Guru

Coba cari di diri gue sendiri juga. Ternyata, gue juga ada. Gue si ibu-ibu yang kadang-kadang mikir ya kapan sih waktu me time itu dan boleh berapa lama dan sebanyak apa. Kita punya anak tapi kita kan juga pengin bahagia. Jadi sampai sebatas apa aku dibilang menjadi ibu yang ‘tidak kualat’ kepada anak-anaknya. Karena ya itu tadi, kita butuh waktu. 

Nah, karakter ini kan dia ditinggalkan oleh suaminya sekeluarga. Maksudnya saya dan anak itu ditinggalin sama suami, sementara saya nikah muda, fokus saya cuman tahu ngurus keluarga. Jadi kayak, oke. Begitu ditinggalin, ya gue harus me time, love yourself dan lainnya. Tapi ternyata di sini pembelajarannya adalah sampai mentok, sampai bablas, sampai benar-benar lupa gitu sama anaknya karena dia mencari kebahagiaan buat dirinya sendiri. 

Lupa tuh bukan karena lupa ada anak ya, tapi lebih kepada waktu berjalan terus. Kita enggak ngeh bahwa ya sudah ya menurut kita, kita baik-baik aja. Tapi kan kita gak pernah tau itu toxic gitu loh. Karena menurut kita, kita udah ngeliat anak kita dia baik-baik aja dikasih makan, dikasih tempat tinggal, terus kayak oke gitu loh. Dan gue arisan, ya sudah lah gue arisan gitu doang. Nanti juga gue balik lagi ke anak gue kan. 

Tapi, ya kamu paham, kadang kita enggak tahu kalau itu mungkin toxic. Buat anak sekarang yang semua serba dilabelin itu kan menjadi ibu yang toxic. Sementara kita-nya enggak, sudah dikasih makan kan? Oke gue ada waktu, cus gue pergi. Itulah kenapa dibilang embarrassingly related tuh aku pun juga kayak ‘ah, aku kena juga’. 

Selama proses bikin film ini, apakah ada supervisi atau campur tangan dari orang lain?

Nirina Zubir: Supervisor-nya lebih tepatnya istrinya. Kalau tidak ada istrinya kayaknya ruang imajinasinya jadi liar sekali. Istrinya luar biasa, Tjiu luar biasa.

Kristo Immanuel: Istriku (Jessica Tjiu) tuh co-writer yang sangat andal, co-director yang sangat andal juga, jadi dia memastikan untuk semua film ini tuh tetap on track. She’s the unsung hero menurutku, karena dia selalu ngomong tuh di belakang. Misalnya kayak ada adegan gini, kayaknya harus diginiin deh. Nanti aku yang ngomong, gitu. Jadi, castnya pada enggak tahu kalau itu tuh sebenarnya ide dia semua.

Kalau Ko Ernest tentunya membantu dari segi kreativitas, kayak “Adegan ini kayaknya dragging deh, To, kayaknya enggak usah.” Atau juga kayak misalnya bagaimana caranya supaya film ini yang walaupun niche tapi bisa appealing untuk masyarakat umum gitu?

Ko Ernest juga mikir buat apa bikin film yang unik tapi enggak ada yang nonton. Jadi, Ko Ernest tuh membantu bagaimana caranya tujuan lo tetap tercapai sebagai sutradara, tapi kami juga tetap harus bikin filmnya banyak yang nonton, supaya apa yang lu tujukan itu tetap tersampaikan ke penonton-penonton ini. 

Pesan apa yang ingin disampaikan?

Kristo Immanuel: Kalau dari aku pribadi mungkin sejujurnya aku dari awal bikin film ini aku enggak punya satu pesan yang ingin aku sampaikan, cuman satu gitu maksudnya. Karena, aku pengin orang setelah nonton justru menjadi film yang conversation starter. Aku suka banget film-film yang seperti itu. Film-film yang setelah ditonton tuh bukan, “Wah, aku harus aku harus jadi orang yang lebih baik ya,” atau “Wah, aku sepertinya harus ini ya, harus itu ya,” enggak. Aku justru pengin pulang orang pulang tuh jadi lebih ke merenung, ngobrol, yang aku dapetkan tadi apa ya?

Ada ruang diskusi. Aku tuh pengin setelah pulang, antar teman bisa ngobrol, antar orang tua dan anak juga bisa ngobrol, apa yang bisa kami lakukan untuk membuat hidup ini jadi lebih baik. Bahkan, sampai ke titik di mana kemarin salah satu orang saat FGD, “setelah gue nonton gue jadi kepikiran ada satu orang di lingkungan gue yang agak kayak Gema.”

Jadi, kepikiran masa lalu dia seperti apa ya, sampai dia kayak begitu. Padahal, kita suka melihat ada orang yang dalam tanda kutip aneh terus langsung nge-judge, atau kayak “eh enggak usah gue temenin dia,” “Gue enggak cocok sama dia, aneh,” Tapi kita enggak tahu gitu di balik keanehan itu apa yang terjadi, apalagi kalau di kantor kan? Makanya, Gema nih kebanyakan (set) filmnya tuh di kantornya dia. Karena, kadang di kantor orang-orang yang “aneh” tuh kita enggak tahu dia pulang apa yang dia lakukan, apakah dia sendiri apakah dia punya temen atau enggak.

Nirina Zubir: Sebenarnya banyak yang aku renungkan dari film ini. Salah satunya soal bagaimana kita sering mengkotak-kotakkan orang berdasarkan generasi, Millennials, Gen Z, Gen Alpha, dan sebagainya. Kita yang dari generasi terdahulu pun kadang suka menilai, “Oh, anak-anak zaman sekarang tuh begini, begitu…”

Tapi kalau dipikir-pikir, bisa jadi generasi sekarang seperti itu juga karena pengaruh kita. Misalnya, kita hidup di masa yang menuntut double income, karena sekolah mahal, hidup mahal. Kita kerja keras demi keluarga, tapi akhirnya lima hari dalam seminggu anak-anak kita jarang ketemu kita. Pulang kerja capek, istirahat, dan weekend pun cuma sebentar karena sudah harus persiapan buat Senin.

Nah, tanpa sadar, kita ikut membentuk generasi ini. Kita sering menilai mereka begini-begitu, tapi pernah enggak bertanya, “Kita sendiri selama ini ngapain?” Aku kena banget bagian ini di film. Aku langsung mikir, anakku dua tahun lagi mau kuliah. Sudah cukup belum aku bekali dia bukan cuma materi, tapi juga keterampilan hidup, emosi, dan kesiapan mental?

Aku sampai kepikiran, “Apa aku harus hiatus tahun depan?” Supaya bisa fokus penuh dampingi anakku, bantu dia siap hadapi masa depannya. Dan ini semua muncul karena film ini, karena ceritamu (Kristo). Makanya, aku merasa film ini bukan cuma buat Gen Z, tapi juga buat orang tua, biar kita sadar bahwa generasi berikutnya terbentuk juga karena kita. Jadi, tonton film ini untuk memahami, bukan cuma tentang mereka, tapi juga tentang kita.

BACA JUGA:   Messi 'Diejek' Pejabat Saudi Saat Dibantai Al Nassr: Angkat 6 Jari

Seberapa menantang menciptakan ruang kreatif di lokasi syuting yang sebagian besar hanya berlatar kantor?

Kristo Immanuel: Memang banyak adegan yang terjadi di kantor, tapi ada juga beberapa set lain. Tapi secara umum, menciptakan ruang kreatifnya enggak sesulit itu, justru karena orang-orang yang aku ajak kerja bareng tuh sangat kreatif dan punya passion yang sama. Diskusinya jadi lancar.

Tantangannya mungkin lebih ke hal-hal detail, misalnya aku pengin warna tertentu, atau bentuk ruangan dan meja yang spesifik. Menyamakan imajinasi di kepala aku dan kepala mereka itu yang tricky. Kadang aku merasa sudah menjelaskan dengan baik, tapi ternyata masih beda juga hasilnya.

Untungnya, aku sudah mendesain semuanya cukup mendetail bahkan sejak setahun sebelum syuting. Dua bulan sebelum produksi, kami masuk masa persiapan, tapi jauh sebelum itu aku udah bikin storyboard lengkap, denah kantornya, sampai urutan posisi meja. Bahkan, aku bikin versi miniatur pakai mainan.

Terus, aku udah ada full film Tinggal Meninggal versi blocking juga. Aku edit sekitar 1,5 jam terus kita nonton dulu sama-sama seluruh kru, jadi kita bisa tau, adegan ini nanti ambilnya begini, adegan ini nanti adegannya begini, jadi biar ruang kreasinya tuh enak kita pas kerja jadi minim miskomunikasi.

Nirina Zubir: Kalian tahu enggak kenapa dia bisa sedetail itu? Karena Kristo ini ADHD, jadi segala perintilan sama dia tuh diurusin gitu, tapi dalam artian yang baik, makanya aku bangga banget sama dia.

Selama aku syuting film, belum pernah ketemu logbook yang sedetail ini. Adegan ini pakai baju apa, kuku kayak apa, makeup seperti apa. Bahkan ada versi lego buat menunjukkan angle kamera. Gila sih.

Jadi buat teman-teman yang merasa punya kekurangan atau kondisi tertentu, ini bukti kalau itu bisa jadi kekuatan kalau diarahkan dengan benar. Aku, atas nama Imajinari dan Ko Ernest, bisa bilang ini syuting paling lancar di Imajinari.

Kenapa membalut cerita dengan komedi?

Kristo Immanuel: Refleksi diri juga sih. Aku menggunakan komedi sebagai coping mechanism. Jadi, setiap ada hal yang menyedihkan di hidup, aku bawa arahnya ke komedi. Aku suka banget film-film dark komedi dari kecil, aku suka banget film-film kayak Little Miss Sunshine, What You Do In Shadows, Jojo Rabbit dan segala macemnya, itu jadi kayak comfort movie-ku gitu. 

Pas aku dapat premis (film Tinggal Meninggal) ini di otakku, udah aku enggak mau jadikan ini sebuah film drama aja tapi pengen komedi getir. Karena, kalau nonton filmnya itu dikemas juga dengan komedi, menunjukkan bahwa tokoh utamanya ini tidak mau merasakan kesedihan 

Jadi, setiap kali dia (Gema) merasakan sedih dia balut dengan komedi supaya ter-distract sedihnya. Itu kenapa nanti pasti akan merasakan komedi yang aneh gitu. Ada rasa kayak “Aku boleh ketawa enggak ya di sini?”

Seberapa berpengaruh kuliah penyutradaraan dalam karier Kristo Immanuel saat ini?

Kristo Immanuel: Signifikan sekali sih kalau buat aku ya, jadi aku belajar cara mendirect aktor, belajar detail-detail pengadeganan itu dari kuliah. Jadi, tentunya membantu sekali saat syuting. Cuman, justru aku merasa kayaknya salah satu yang paling membantu justru adalah baca buku. Setelah kuliah aku lanjut baca buku-buku film, terus mempelajari psikologi manusia dan kepekaan terhadap perasaan, kayaknya itu yang justru membantu meng-craft adegan-adegan di film ini. 

Gema si tokoh utama itu breaking the 4th wall jadi bisa ngomong sama penonton. Dia akan melihat ke kamera secara langsung. Nah, itu tuh membangun kenapa dia seperti itu, terus momen-momennya saat dia seperti itu, aku merasa banyak belajar justru dari pelajaran hidup tentunya, kedua, baca-baca buku soal psikologi maupun soal film. 

Apakah karakter Gema adalah visualisasi dari Kristo Immanuel sendiri?

Kristo Immanuel: Sebenarnya, Gema ini kan versi ekstremnya aku. Jadi, aku suka ngomong sendiri juga di kepala. FYI, orang yang ADHD ataupun ADD, isi kepalanya enggak berhenti berpikir. Jadi kami tidak punya waktu istirahat. Istirahat (pikiran) kalau tidur doang. 

Bahkan aku baru tahu ternyata orang kalau bengong tuh, yang non-ADHD atau non-neurodivergent, kalau bengong ya isi (kepala) nya kosong aja, jadi bisa bengong dengan tenang. Nah, istriku bisa kalau suara kepalanya berhenti ya berhenti saja. Aku kan enggak bisa, ngomong terus aja. 

Kayak Ko Ernest kan tidak seperti kami berdua (Kristo dan Nirina) ya, dia kan sangat neurotypical, dia bilang waktu itu pas kita lagi ngedit, “ini, To, kayaknya ngobrolnya jangan overlap deh antara Gema dengan Gema kecil” jadi Gema tuh bisa ngomong sama fotonya pas masa kecil. Dia berimajinasi foto masa kecilnya tuh bisa ngomong. Dengan otak yang sama harusnya mereka ngomongnya enggak bisa tabrakan dong, karena kan orang berpikir satu-satu, enggak mungkin dua hal sekaligus. 

Oh Anda tidak tahu yang ada di kepala saya. Kita lagi ngobrol aja ada lagu nih yang muter di sebelah sini (kepala) gua gitu, itu bisa banget terjadi.

Apa tujuan teknik breaking the 4th wall?

Kristo Immanuel: Itu sebenarnya menggambarkan kebiasaan aku sendiri. Misalnya lagi di situasi yang canggung, aku suka ngerasa pengen ngomong ke “kamera tak terlihat”, kayak, “Aduh, gue pengen cabut banget dari sini,” terus balik lagi ke obrolan. Jadi kayak ada momen ilang sepersekian detik, terus lanjut lagi. Nah, itu yang divisualkan sebagai breaking the 4th wall.

Nirina Zubir: Sebenarnya itu isi kepalanya dia yang lagi “pecah” gitu. Jadi bukan mengajak ngobrol penonton kayak di film biasanya, tapi lebih ke dia lagi ngomong ke dirinya sendiri, dan kita, penonton, diajak buat melijat isi kepalanya yang sebenarnya.

Source link

BERITA TERKAIT

BERITA POPULER