TEMPO.CO, Jakarta – Clara Bernadeth dan Shindy Huang merasakan kehilangan serta penyesalan. Perasaan tersebut membuat keduanya secara tidak langsung terhubung dalam film Hotel Sakura yang tayang pada Kamis, 10 Juli 2025.
Pilihan Editor: Aroma Mint dalam Tas Clara Bernadeth
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hotel Sakura berkisah tentang Sarah (Clara Bernadeth), seorang perempuan yang dihantui rasa bersalah atas kematian ibunya. Dalam upaya untuk bertemu kembali, Sarah terjerat dalam ritual spiritual yang justru membuka pintu ke dunia lain. Di sanalah ia bertemu Setsuko, sosok arwah perempuan Jepang yang membawa teror dan menyimpan dendam dari masa lalu.
Clara Bernadeth dan Shindy Huang mengungkapkan pengalaman mereka sebagai pemeran film Hotel Sakura saat berkunjung ke kantor Tempo pada Kamis, 26 Juni 2025. Clara mengklaim bahwa Hotel Sakura garapan sutradara Krishto Damar Alam dan Rudy Soedjarwo lebih dari sekadar film horor biasa. Film yang ditulis oleh Upi Avianto ini menanamkan unsur budaya Jepang, trauma emosional, dan pengalaman spiritual.
Film ini sampai membuat Clara depresi sampai trauma membintangi film horor. Sementara, Shindy harus mempelajari bahasa Jepang dan menjalani proses makeup yang memakan waktu.
Apa alasan kalian menerima tawaran bermain film horor?
Clara Bernadeth: Ini (Hotel Sakura) bisa dibilang film horor kedua aku. Cuman memang baru bisa ditayangkan, jadi ini bisa dibilang pengalaman yang lumayan baru buat aku di film horor. Aku karena memang pengalamannya waktu itu belum banyak di film horor. Dan untuk mengambil sebuah cerita pun juga, aku memang membaca dari sinopsis, dari ceritanya. Yang kulihat dari Hotel Sakura ini, lebih dari sekadar film horor.Â
Aku benar-benar jatuh cinta banget sama sisi emosional dalam ceritanya. Karena ini kan bisa dibilang emang psychological horror. Mungkin enggak begitu banyak jump scare, tapi banyak ketegangan-ketegangan dan emosi-emosi dalam yang ditawarin di film ini. Ditambah aku juga jatuh cinta banget sama karakter Sarah.
Karakter Sarah belum pernah aku mainkan sebelumnya, pastinya, karena aku juga baru awal banget waktu itu mengambil proyek ini. Karakter Sarah itu karakter yang sangat kompleks dan sangat depresif. Itu yang membuat aku jadi pengin lebih mengenal lagi karakter Sarah itu seperti apa, pengin memainkannya dan mempelajarinya. Itu yang membuat aku jadi tertarik untuk mengambil film Hotel Sakura ini, dan sayang untuk dilewatkan menurut aku untuk mengambil proyek ini.
Ditambah aku juga percaya penulisannya Mbak Upi. Jadi yang membuat aku, ‘ini penulisannya Mbak Upi, aku pengin banget punya kesempatan main di proyeknya Mbak Upi.’ Walaupun bukan di-direct langsung sama dia. Ditambah juga ada teman-teman aku sendiri yang aku ketemu di sini, Taskya. Sebelumnya kan aku juga emang pernah main sama Taskya. Terus bermain lagi sama Taskya itu hal yang kutunggu-tunggu di luar dari series dulu. Jadi aku pengen banget mengalami pengalaman lah main film sama Taskya.Â
Clara Bernadeth saat media visit film ‘Hotel Sakura’ di Gedung Tempo, Jakarta, 26 Juni 2025. Tempo/Fajar Januarta
Shindy Huang: Kalau aku boleh jujur, ini juga film horor pertamaku. Jadi kayak pada saat itu aku masih baru banget juga di industri. Dan jujur banget, aku itu pertimbangannya belum banyak. Jadi belum terlalu kepikir kalau ambil proyek, ‘ini kenapa ya gue mau ngambil?’ Di saat itu belum terlalu ada pertimbangan itu. Jadi ketika ada peran yang ditawarkan, melihat tantangan-tantangannya, itu sih. Aku belum kepikir sejauh itu.
Apa hubungan Sarah dengan sejarah bangunan Jepang di film Hotel Sakura?
Clara Bernadeth: Sebenarnya kalau mau dihubungin karakter Sarah sama bangunan itu, lebih tepatnya karena memang ada konflik yang dialamin sama karakter Sarah ini, yaitu tentang konflik di mana itu dia mencari sosok ibu. Dia rindu sama sosok ibu. Dia pengin bertemu lagi karena waktu itu dia menyesal karena ibunya meninggal di saat dia enggak ada. Dan waktu ibunya meninggal pun dia juga lagi cukup renggang hubungannya sama ibu.
Itu yang membuat dia akhirnya hidup dalam penyesalan-penyesalan dan dia enggak bisa move on dari masa lalunya. Jadi perasaan bersalahnya dia yang dia bawa sampai akhirnya membawa dia ke Hotel Sakura itu. Kenapa bisa ke Hotel Sakura itu? Karena sebenarnya keinginan dia untuk bertemu lagi, berkomunikasi lagi sama sosok ibunya ini.Â
Dia waktu itu bertemu dengan pria misterius, Randy Martin, pria misterius yang tiba-tiba ngomong ke dia kalau dia bisa berkomunikasi lagi dengan sosok ibunya lewat Hotel Sakura itu. Jadi apa pun yang Sarah lakukan fokusnya hanya untuk bertemu sosok ibunya. Akhirnya dia pun ke Hotel Sakura itu. Pas dia sampai sana, itu ternyata membuka pintu arwah, pintu yang dia tidak tahu sebelumnya. Sebahaya itu pas sampai sana.
Mengapa Hotel Sakura disebut lebih dari sekadar film horor?
Clara Bernadeth: Karena cerita yang ditawarkan di sini itu lebih ke emosional, deep banget. Banyak banget karakter di dalam cerita ini yang memang membawa konfliknya sendiri-sendiri. Tapi memang yang paling kuat adalah di Sarah. Karena kan tujuan dari film ini adalah dia mencari sosok ibunya yang membawa dia sampai ke Hotel Sakura. Nah proses itu, proses Sarah mencari ibunya, itu yang membuat jadi emosional. Perjalanan sangat emosional. Karena dia mencari sosok ibunya ini berkali-kali, dari dia di SMP sampai kuliah, dia belum bisa melupakan sosok ibunya. Dan itu sudah banyak banget hal yang dia lakukan. Dari cari ke sana, ke sini, sana, sini, sampai akhirnya di titik Hotel Sakura.
Kalau ngomongin karakternya Sarah sendiri, karakter Sarah sendiri ini karakter yang sangat pendiam. Dia sangat sensitif. Dia itu karakter yang rentan. Itu yang makin membuat penonton nanti, penonton itu harusnya jauh lebih merasakan apa yang Sarah rasakan. Karena dia, kerentanan dia, itu yang akan membuat cerita ini lebih emosional. Bukan cuman perasaan dia terhadap ibu, tapi karakter rentannya dia yang akan membuat film ini menjadi lebih sensitif, lebih emosional, lebih deep.
Peran Shindy Huang berperan sebagai temannya Sarah atau termasuk orang yang mencari sesuatu di hotel itu?
Clara Bernadeth: Dia bagian dari sejarah Hotel Sakura.
Shindy Huang: Di sini aku kebetulan berperan sebagai orang Jepang. Orang Jepang yang sempat masih hidup. Karakter aku hidupnya tuh di tahun 1945-an, Â mendekati kemerdekaan. Ada sejarah latar belakangnya pada saat di tahun-tahun mendekati kemerdekaan itu, dia sebagai orang yang notabene berkebangsaan Jepang.Â
Di saat itu kan memang Jepang sama Indonesia ada sejarahnya. Dan Jepang kan waktu itu kan harus mundur balik ke negaranya. Nah, bagaimana nih kalau misalnya orang Jepang di saat itu? Apa rasanya ya ketika dia harus dipukul mundur? Dan kebetulan dia itu adalah istri seorang jenderal yang diutus lah ke Indonesia. Nah, mereka harus mundur, tapi kayak pada saat itu prajurit-prajurit Jepang-nya sendiri kayak merasa ‘kok kita menyerah gitu ya?’ Jadi di saat itu polemiknya mulai terjadi. Bagaimana caranya mereka harus keluar dari tempat itu.Â
Artis Shindy Huang dalam media visit film ‘Hotel Sakura’ di Gedung Tempo, Jakarta, 26 Juni 2025. Tempo/Fajar Januarta
Clara Bernadeth: Tapi yang menarik, sebenarnya karakter dia (Shindy) sama karakter aku itu ada kesamaan. Kami sama-sama mengalami yang namanya kehilangan. Itu mungkin akhirnya menyatukan kami juga di situ. Drama yang kami bawa adalah sama-sama kehilangan orang yang kita sayang.
Apa tantangan yang Shindy Huang rasakan saat memerankan karakter di film Hotel Sakura?
Shindy Huang: Bahasa Jepang. Waktu itu aku masih awal banget. Jadi banyak banget yang aku pikirkan. Karena kan perannya ini sendiri sangat jauh daripada aku. Menurut aku setiap proyek itu punya tantangannya sendiri. Setiap karakter yang kita mainkan itu bukan diri kita sendiri. Jadi kita harus mempelajari. Apalagi kalau misalnya karakter ini bukan warga negara Indonesia.Â
Terus dari usianya sendiri. Di sana (Hotel Sakura) kebetulan karakter aku sudah memiliki anak. Nah, itu udah beda juga. Jangan kan jadi warga negara asing. Ini hidupnya di tahun 1945, itu sudah beda juga. Maksudnya ada elemen faktor lain. Ditambah lagi, cara kita berbicara, milenial aja dengan gen Z berbeda. Bagaimana dengan orang-orang yang pada saat itu, usianya dan budayanya beda. Apalagi dia istilahnya bukan orang rakyat biasa. Dia istri seorang jeneral. Bagaimana perawakannya? Belum lagi bahasa yang berbeda. Jadi menurut aku itu tantangan yang banyak sekali ya.Â
Apakah sebelumnya sudah menguasai bahasa Jepang?
Shindy Huang: Enggak. Kebetulan waktu itu dikasih coach. Cuman memang jujur waktu itu agak mepet waktunya. Jadi aku pelajari sendiri dulu, riset-riset sendiri dulu, nonton banyak reality show-nya Jepang. Karena kalau film tuh beda cara sehari-hari ngomongnya. Terus baru di situ dapat coach, baru lebih belajar dialognya lagi.Â
Kebanyakan aku belajar sendiri. Â Kalau sama coach-nya tuh singkat banget. Dan kebetulan kan aku dulu sempat, awal-awal sebelum aku masuk film tuh, aku (jadi model) iklan. Dan sempat dapet iklan bahasa Jepang. Jadi kayak emang sudah jalan ya.
Apa tantangan yang Clara Bernadeth rasakan saat memerankan karakter di film Hotel Sakura?Â
Clara Bernadeth: Dari sisi emosional, bagaimana aku bisa mengulik sisi emosionalnya Sarah sendiri. Di mana aku tahu banget rasanya yang Sarah rasakan. Kehilangan orang yang dia sayang, dan dia merasa menyesal. Karena aku juga pernah mengalami hal itu. Jadi pas untuk memainkan karakter Sarah dengan persiapan yang cukup singkat, aku lumayan memanggil ranah personal aku, pribadi aku untuk merasakan lagi bagaimana sih rasanya kehilangan orang yang aku sayang dan aku menyesal dan aku pengen bertemu. Itu yang membuat aku jadi super-super rentan secara aku pribadi untuk memainkan karakter Sarah. Aku lumayan rentan dan aku lumayan waktu itu. Aku lumayan depresi waktu main karakter ini.Â
Shindy Huang (kiri) dan Clara Bernadeth saat media visit film ‘Hotel Sakura’ di Gedung Tempo, Jakarta, 26 Juni 2025. Tempo/Fajar Januarta
Selama selama syuting, aku lumayan sangat-sangat fragile. Benar-benar fragile seperti karakter Sarah. Aku benar-benar mengalami apa yang Sarah rasakan selama di film ini. Nanti kalian bisa lihat apa aja kejadian yang Sarah alami, itu aku alami di kejadian nyata. Aku benar-benar alami di kejadian selama aku proses syuting. Bahkan habis syuting pun itu masih kebawa. Karena untuk melepaskan rasa itu cukup sulit. Dan untuk membangkitkan aku yang tadinya fragile dan rentan, untuk menguatkan akunya sendiri itu butuh waktu. Butuh proses. Butuh proses healing.Â
Jadi waktu aku keluar dari syuting ini pun, bisa dibilang aku tuh udah lumayan trauma banget untuk mengambil film-film horror lainnya. Bahkan enggak mau lagi. Karena yang aku alami di sini benar-benar enggak enak banget. Karena apa yang Sarah rasakan ini bukan cuman penyesalan doang, tapi dia rindu. Emotional itu kompleks banget, dari rasa rindu, marah, takut, sedih, kecewa. Semuanya itu dia alami jadi satu.
Jadi teman dan kru di situ, DOP(Director of Photography)-nya bahkan, setiap mengambil shot aku, dia itu benar-benar menganggap aku jadi Sarah. Menganggap aku jadi karakter aku. Dia benar-benar enak banget mengambil shot aku. Karena dia kira Clara adalah Sarah. Karena saking samanya kita waktu itu. Tapi ada suatu momentum, di mana aku kayak disadarkan kembali.
Untuk kembali jadi diri aku itu aku langsung jadi pribadi yang lebih live. Pas aku menjadi pribadi aku sendiri yang lebih live, itu orang-orang malah ngomong kayak, ‘eh aku kira Sarah adalah kamu. Kok kamu jadi beda banget karakternya.’ Karena yang mereka enggak tahu adalah aku benar-benar sangat menempel dengan karakter Sarah waktu itu. Sangat mendalami banget. Sampai akhirnya untuk keluar tuh butuh proses balik lagi ke akunya. Aku gak bisa bilang berapa lamanya, tapi pas sudah mau kelar syuting, itu aku pelan-pelan pulihkan diri.
Waktu syuting pun juga, memang aku ada kejadian yang cukup tidak mengenakan. Yang katanya ternyata aku ketempelan. Karena aku merasa, waktu itu memang aku lagi fragile-fragile dengan tantangannya. Kayaknya selama proses itu, proses syuting itu karena akunya memang serentan secara pribadi. Itu yang membuat aku juga akhirnya gampang untuk ditempeli dengan arwah-arwah itu. Aku baru menyadari itu, karena ada seseorang waktu itu yang memang ngomong selama syuting, ada hal yang enggak enak pas melihat aku. Dan waktu itu dibantuin sama beberapa orang untuk dipulihin, didoakan, segala macam, untuk dilepasin dari ketempelannya itu.
Aku sendiri pun juga enggak percaya mengalami itu karena aku orang yang lumayan sangat logis. Jadi pas aku mengalami hal itu, itu membuat aku juga jadi lebih mengenal, bahwa memang kita sebagai manusia itu harus lebih kuat lagi spiritualnya. Kita juga harus melindungi energi kita. Kita enggak bisa serentan itu karena itu yang membuka kita untuk jalur mereka untuk masuk. Aku percaya kita enggak bisa dimasukin sebenarnya karena kita punya sesuatu yang lebih kuat dari dalam. Tapi karena di saat itu aku memang membuka diri aku untuk dimasukin, itu yang membuat aku agar aku ketempelan juga.Â
Apakah Hotel Sakura jadi film horor terakhir Clara Bernadeth?
Clara Bernadeth: Setelah film horor kedua ini, aku merasa trauma dan aku enggak mau ambil film horor lagi. Tapi kita enggak bisa hidup dengan trauma. Itu yang membuat aku akhirnya juga melawan trauma-trauma itu untuk mengambil (proyek film) horor.
Kebetulan saya baru selesai (syuting) film horor juga, kemarin. Intinya adalah, kita enggak bisa hidup dari trauma itu dan kita harus melawan itu. Tapi karakter ini dan film ini membuat aku jadi lumayan trauma dengan kejadian yang aku alami karena aku enggak nyangka aku bisa mengalami hal kayak gitu.
Bagaimana proses makeup untuk memerankan karakter orang Jepang?
Shindy Huang: Ada dua versi. Versi kedua itu lumayan lama sampai kadang bisa tiduran dulu. Sejam lebih sampai dua jam. Cuma kalau yang versi satunya, lumayan lama sih buat rambutnya. Cuman kayaknya lebih lama yang versi dua.
Pesan apa yang akan penonton dapatkan setelah menonton film Hotel Sakura?
Clara Bernadeth: Kalau aku dari sisi ceritanya sendiri, maksudnya dari dramanya sendiri. Aku merasa mungkin akan banyak orang relate dengan apa yang Sarah dan karakter Shindy alami, tentang kehilangan orang yang disayang. Tapi kita enggak bisa mengulangi hal itu kembali. Kan banyak orang kehilangan orang yang disayang, tapi kita pengin deh ngulangin waktu itu lagi sama orang yang kita sayang. Kita menyesal. Pasti akan banyak orang yang relate dengan hal-hal itu.Â
Tapi di film ini, aku justru melihat sebuah penyadaran bahwa penyesalan itu bisa membawa kita ke jalur yang berbahaya. Contohnya Shindy kehilangan orang yang disayang bisa membuat dia melakukan hal-hal yang mungkin karakter Shindy melakukan hal-hal yang berbahaya. Aku pun juga akhirnya mengambil jalur yang berbahaya juga. Yang dampaknya membahayakan diri aku juga. Malah membuka jalur yang berbahaya untuk untuk aku. Kita harus berani mengampuni diri kita sendiri agar kita enggak sesat di jalan yang salah aja ke depannya.Â
Shindy Huang: Masih menyambung sama yang Clara bilang juga, semoga kalau orang nonton (Hotel Sakura) mereka bisa merasa mumpung masih ada kesempatan nih sudah ada contoh penyesalan, mumpung masih ada kesempatan hargailah waktu dengan orang-orang yang kita sayang sebelumnya semaksimal mungkin.
Pilihan Editor: Seperangkat Alat Pembersih Shindy Huang