Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dikabarkan menjadi buronan kepolisian internasional (interpol).
Seorang sumber anonim mengungkapkan bahwa pemerintah Filipina saat ini sedang menyiapkan sedikitnya 7.000 aparat kepolisian untuk menangkap sang eks Presiden.
Rencana penangkapan Duterte ini disebut sebagai bentuk tindak lanjut red notice dari kepolisian internasional. Red notice adalah permintaan kepada penegak hukum di seluruh dunia untuk mencari dan menangkap sementara seseorang yang akan diadili.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penangkapan Duterte sendiri berkaitan dengan penyelidikan yang digelar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengenai dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam operasi antinarkoba Filipina di masa pemerintahan Duterte.
Pada 1 Juli 2016, sehari setelah Duterte menjabat, Kepolisian Nasional Filipina meluncurkan Project Double Barrel, sebuah kampanye antinarkoba yang digencarkan secara agresif.
Menurut catatan kelompok pembela hak asasi manusia, operasi antinarkoba itu menewaskan 12.000 hingga 30.000 orang dengan puncak kematian terjadi selama 2016 dan 2017. Data kepolisian sementara itu mencatat angka yang lebih kecil yakni lebih dari 6.200 jiwa.
Kelompok pembela HAM melaporkan bahwa selama periode itu, ribuan pengguna narkoba dan pedagang kecil tewas dibunuh secara misterius oleh penyerang tak dikenal.
Pada waktu itu, bahkan sejak kampanye kepresidenan, Duterte berulang kali menyerukan pembunuhan para penjahat dan anggota organisasi perdagangan narkoba. Duterte mengatakan penjahat dan pengedar narkoba halal untuk ditembak mati tanpa harus takut dituntut.
“Saya akan menjadi diktator … tetapi hanya untuk melawan kejahatan, narkoba, dan korupsi di pemerintahan,” kata Duterte sehari setelah pemilihan presiden Filipina 2016 lalu.
Duterte juga menegaskan bahwa ia akan mundur dari jabatan jika dalam enam bulan dirinya gagal memenuhi janji tersebut.
Pada 1 Juli 2016, operasi anti-narkoba Project Double Barrel pun diluncurkan.
Dipantau ketat ICC
Pada 13 Oktober 2016, sekitar empat bulan setelah operasi diluncurkan, Jaksa ICC Fatou Bensouda menyatakan keprihatinan atas laporan eksekusi di luar hukum terhadap para tersangka pengguna dan pengedar narkoba di Filipina.
Bensouda mengatakan ICC akan memantau secara ketat perkembangan di Filipina untuk menilai apakah perlu dilakukan pemeriksaan.
Duterte pun merespons di bulan berikutnya dengan mengancam bahwa ia akan mengikuti jejak Rusia menarik Filipina dari ICC.
Pada Februari 2018, ICC akhirnya membuka penyelidikan awal terhadap situasi di Filipina. Duterte geram dan memutuskan menarik secara resmi Filipina dari ICC pada 16 Maret 2018.
Penarikan itu berlaku efektif setahun kemudian, tepatnya pada 17 Maret 2019.
Pada 15 September 2021, Kamar Praperadilan I ICC kemudian mengizinkan jaksa untuk membuka penyelidikan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait operasi antinarkoba Duterte. Meskipun Filipina sudah menarik diri, ICC mempertahankan yurisdiksi bahwa dugaan kejahatan Duterte terjadi saat Filipina masih menjadi anggota.
Bersambung ke halaman berikutnya…