TEMPO.CO, Jakarta – Pada Ahad, 19 Juli 2020, menjadi hari duka bagi dunia sastra Indonesia. Sapardi Djoko Damono, penyair kenamaan yang telah menjadi ikon sastra tanah air, meninggal dunia pada usia 80 tahun. Kepergian sosok yang dikenal lewat karya legendaris seperti Hujan Bulan Juni ini meninggalkan luka mendalam bagi para pencinta sastra.
Bukan hanya kehilangan bagi keluarga, wafatnya Sapardi juga menjadi duka bagi bangsa yang telah menikmati keindahan bahasa dan kedalaman makna dalam setiap puisinya.
Sejak masa sekolah, Sapardi telah menunjukkan kegigihannya dalam menulis. Karya-karyanya mulai dikirimkan dan dimuat di berbagai majalah, hingga akhirnya ia berhasil menerbitkan 38 karya sastra yang tersebar luas di seluruh Indonesia.
Puisi-puisi Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk beberapa bahasa daerah. Selain dikenal sebagai penyair, ia juga menulis cerita pendek, menerjemahkan karya-karya penulis luar negeri, menulis esai, dan rutin mengisi kolom di surat kabar, termasuk artikel bertema olahraga seperti sepak bola.
Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono
1. Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Aku Ingin merupakan salah satu puisi yang ada di dalam buku Hujan Bulan Juni. Kata-katanya begitu romantis dan mengisyaratkan arti sebuah pengorbanan.
2. Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu harus menjadi aku
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu.
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu.
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu.
Beribu saat dalam kenangan
Kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
Kita dengar bumi yang tua dalam setia
Sewaktu bayang-bayang kita memanjang
Kita pun bisu tersekat dalam pesona
Sewaktu ia pun memanggil-manggil
Sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
Air matamu adalah air mataku
Hingga ke akhir tirai hidupmu
Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini
Berbekalkan sejuta dukamu
Mengiringi setiap langkahku
Karena dukamu adalah dukaku
Meruntuhkan segala penjara rasa
Membebaskan aku dari derita ini
Dukamu menjadi sejarah silam
Dasarnya ‘ku jadikan asas
Membangunkan semangat baru
Biar dukamu itu adalah dukaku
Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!