Bisnis.com, JAKARTA– Bitcoin kembali membuat kejutan di tengah memanasnya kondisi politik dan kebuntuan anggaran pemerintahan Amerika Serikat.
Aset kripto berkapitalisasi paling jumbo tersebut menembus US$125.000 pada perdagangan hari Minggu kemarin, dan mencetak rekor tertinggi baru (ATH) dalam siklus bullish saat ini. Bitcoin saat ini masih diperdagangkan di atas US$123.000 dan mencatatkan kenaikan harga mingguan lebih dari 10%.
Analis Reku Fahmi Almuttaqin mengatakan, lonjakan harga tersebut tak lepas dari aliran dana masuk besar ke ETF Bitcoin spot AS. Dia menjelaskan dalam periode perdagangan 1-3 Oktober tercatat aliran dana masuk ke instrumen ETF Bitcoin spot mencapai lebih dari $2,28 miliar, mengacu data Coinglass.
“Artinya secara rata-rata, terdapat total lebih dari US$762 juta net buy Bitcoin dari para investor tradisional AS setiap harinya dalam tiga hari perdagangan terakhir,” jelas Fahmi dalam keterangan resminya, Senin (6/10/2025).
Menariknya, reli ini justru muncul di tengah kondisi shutdown pemerintah AS yang kini memasuki minggu kedua. Dengan penundaan rilis data ekonomi, lanjutnya, sebagian investor memandang keadaan tersebut sebagai pemicu impuls likuiditas positif. Situasi tersebut dapat menjadi landasan bagi The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneternya di sisa tahun ini.
Selain Bitcoin, kinerja positif instrumen investasi juga dicatatkan oleh pasar saham AS dengan indeks S&P 500 dan Nasdaq masing-masing naik 1,1% dan 1,3%, dalam satu pekan terakhir, menandai kenaikan keempat dari lima pekan terakhir.
Musim laporan keuangan kuartal III dimulai pekan ini dengan perusahaan besar seperti PepsiCo (PEP), Delta Air Lines (DAL), dan Levi Strauss (LEVI) dijadwalkan merilis laporan kinerja perusahaan pada Kamis. Pasar tampak menilai bahwa shutdown AS tidak akan berlangsung lama atau menimbulkan risiko ekonomi sistemik.
“Sentimen “no data, no problem” mencerminkan optimisme investor bahwa ketiadaan rilis data makro dapat memperkuat peluang The Fed melanjutkan pelonggaran suku bunga,” kata Fahmi.
Namun, di sisi lain, kekuatan pasar di tengah penundaan rilis data ekonomi resmi menciptakan risiko mispricing di mana pasar bisa terlalu optimistis tanpa dasar data aktual. “Bila laporan lapangan kerja yang tertunda nanti menunjukkan pelemahan tajam, atau inflasi
meningkat signifikan, aksi profit taking bisa meningkat, khususnya pada saham-saham teknologi yang telah mencatat reli panjang,” imbuhnya.
Bagi pasar kripto, tren ini bisa tetap positif dalam jangka pendek, karena penurunan yield dan likuiditas dolar cenderung memperkuat aset berisiko seperti Bitcoin dan juga altcoin dengan likuiditas dan kapitalisasi pasar yang besar.“Namun, jika shutdown berkepanjangan memicu PHK sektor publik besar-besaran, risiko arus kas keluar dari pasar mungkin juga dapat meningkat,” pungkasnya.
Terlepas dari itu, optimisme terhadap potensi berlanjutnya reli yang ada saat ini masih cukup tinggi. Analisis JPMorgan terhadap Bitcoin yang dirilis baru-baru ini, berbasiskan metode perbandingan volatilitas terhadap emas, juga cukup menyita perhatian pasar. Dalam analisis tersebut BTC diprediksi masih memiliki ruang kenaikan lanjutan sekitar 40% menuju US$165.000.
Kendati begitu, menurutnya reli agresif tanpa dukungan fundamental yang kuat berpotensi memicu koreksi tajam. Jika dorongan aliran dana melemah, atau jika shutdown AS berkepanjangan hingga memicu tekanan fiskal dan sosial, dan inflasi naik lebih tinggi dari ekspektasi, pasar bisa bergeser ke mode risk-off. “Dalam skenario seperti itu, level support psikologis di US$100.000 akan menjadi area harga yang krusial,” lanjut Fahmi.

