DI tengah industri perfilman saat ini, Vidio mengajak para kreator muda untuk berkreasi lewat kompetisi film pendek. Ajang ini tak sekadar mencari pemenang, tetapi dirancang sebagai ruang pembelajaran dan pengembangan talenta.
Dengan dukungan para sineas berpengalaman seperti Mira Lesmana, Yandy Laurens, Shanty Harmayn, dan Joko Anwar, peserta didorong mengeksplorasi ide, menaklukkan keterbatasan, dan menciptakan karya yang padat namun berkesan.
Pilihan Editor: Yandy Laurens: Film Sore Itu Soal Cinta tanpa Syarat
Mengapa Vidio Memilih Kompetisi Film Pendek?
Di tengah derasnya arus konten di layar ponsel, televisi, hingga laptop, Chief Marketing Officer Vidio, Teguh Wicaksono, melihat situasi ini sebagai pedang bermata dua. Perkembangan teknologi membawa banyak inovasi di dunia media dan hiburan, seperti format drama vertikal dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam produksi film, namun juga menimbulkan tantangan baru. Meski begitu, ia menilai industri perfilman Indonesia justru sedang berada di fase yang menarik, dengan banyak ide segar dan talenta baru bermunculan.
Dalam dinamika yang bergerak cepat ini, Vidio memilih format film pendek sebagai ajang kompetisi karena mampu menjadi medium yang relevan, adaptif, dan inklusif. Format ini memungkinkan sineas muda merespons tren dengan cepat, bereksperimen dengan ide-ide baru, dan berkompetisi di level yang tidak memerlukan modal besar seperti film panjang.
Bagi Mira Lesmana, salah satu mentor kompetisi dan produser salah satu film legendaris Ada Apa dengan Cinta?, keberhasilan film bukan hanya soal ide, tetapi juga disiplin, proses, dan keberanian untuk mengembangkan gagasan tersebut. “Kompetisi ini penting karena tidak berhenti di seleksi—tapi memberi ruang berkembang yang nyata untuk para kreator,” ujarnya. Dengan adanya dukungan dan pendampingan, ia berharap para peserta tidak hanya menghasilkan karya terbaik untuk kompetisi ini, tetapi juga membangun fondasi kuat untuk perjalanan kreatif mereka di masa depan.
Film Pendek sebagai Gerbang ke Industri
Mentor kompetisi lainnya, Yandy Laurens, memandang film pendek sebagai pintu masuk yang paling ramah untuk mengenal dunia perfilman. Sutradara film SORE tersebut menuturkan, ekosistem perfilman Indonesia memberi ruang yang dekat dan mudah diakses bagi format ini. Prosesnya tidak berhenti pada pembuatan, tetapi juga meliputi pengiriman karya ke festival, menonton film pendek lainnya, serta berdiskusi dengan sesama pembuat film.
Bagi Yandy, hal itu adalah proses menemukan jati diri kreatif dengan memahami gaya bercerita yang paling sesuai dengan diri sendiri. Ia menggarisbawahi bahwa kebanyakan orang tumbuh dengan karya berdurasi panjang, sehingga format singkat sering kali terasa asing. Padahal, potensi kreatif film pendek sangat luas.
Dengan analogi kopi, ia menyebut film pendek sebagai espresso, kecil namun intens. “Mungkin seumur hidup kita minumnya cappucino atau americano. Jadi, begitu bikin film pendek yang gelasnya sekecil itu kita tuh bingung ini harus diisi dengan apa ya?” ungkapnya. Untuk memahami “rasa” dan “isi gelas” inilah, Yandy menyampaikan mengapa film pendek menjadi penting. Ia juga mendorong pembuat film untuk memperbanyak menonton film pendek, meskipun mencari referensi berkualitas di era digital menjadi tantangan tersendiri.
Tantangan dan Nilai Kreatif Film Pendek
Menurut juri Shanty Harmayn, justru keterbatasan durasi yang membuat film pendek menantang. Dalam waktu 5 hingga 10 menit, ide harus terasa utuh dan memukau. “Yang terpenting adalah gagasan, dan bagaimana mengeksekusinya,” ujarnya.
Sutradara Joko Anwar menambahkan, film pendek menguji kemampuan filmmaker mengatasi keterbatasan sumber daya. Mulai dari anggaran minim, kru pemula, hingga aktor yang belum berpengalaman. Meski demikian, keterbatasan ini sering kali melahirkan kreativitas yang segar dan solusi inovatif. Karya yang berhasil memanfaatkan segala keterbatasan untuk menyampaikan pesan kuat, menurut Joko, adalah bukti kecakapan sejati seorang pembuat film.

