Thursday, April 17, 2025
Google search engine
HomeInternasionalKenapa Rakyat Korea Selatan Marah dan Menolak Keras Darurat Militer?

Kenapa Rakyat Korea Selatan Marah dan Menolak Keras Darurat Militer?



Jakarta, CNN Indonesia

Penetapan status darurat militer di Korea Selatan oleh Presiden Yoon Suk Yeol pada Selasa (3/12) malam waktu setempat menuai amarah publik di negara tersebut.

Sebab, ada banyak warga di Negeri Ginseng yang menolak status ini.

Mereka melakukan demo besar-besaran di depan Gedung Majelis Nasional Korsel guna mendesak Yoon mundur dari kursi presiden dan mendesak militer Korsel untuk menangkapnya.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Tangkap Yoon Suk Yeol,” teriak para demonstran, dikutip dari New York Times.

Di tempat lain, tepatnya, di tepi Lapangan Gwanghwamun, pusat kota Seoul, juga terjadi hal serupa. Di sana, ada beberapa orang memegang poster yang menyerukan pengunduran diri Presiden Yoon.

Imbas protes ini, Presiden Yoon akhirnya memutuskan untuk mencabut status darurat militer di Korsel pada Rabu (4/12) pagi waktu setempat. Pencabutan status darurat militer itu dilakukan setelah Yoon mengumpulkan anggota kabinetnya dan menyetujui desakan Majelis Nasional melalui voting untuk membatalkan darurat militer.

Lantas, mengapa warga Korsel marah dan menolak status darurat militer yang sempat ditetapkan Presiden Yoon?

Faktor sejarah kelam

Pengamat hubungan internasional Universitas Diponegoro, Aniello Ello Iannone, mengatakan, penolakan darurat militer oleh oleh warga Korsel disebabkan sejarah masa lalu di negara tersebut.

Pada 1980-an, rezim otoriter Korsel di bawah tampuk kepemimpinan Chun Doo Hwan juga pernah menetapkan status darurat militer di tengah ketegangan mereka dengan Korea Utara. Ini merupakan kali pertama Korsel menetapkan status darurat militer.

BACA JUGA:   Korban Tewas Amukan Badai Milton di Florida Bertambah Jadi 16 Orang

Namun, kata Iannone, status darurat militer di Korsel kala itu malah digunakan sebagai alat untuk mengekang kebebasan publik. Dengan kata lain, Korsel menjadikan status darurat militer itu untuk membuat warga tunduk terhadap keputusan pemerintah.

Muak imbas dikekang pemerintah, warga Korsel pun saat itu melakukan pemberontakan di Kota Gwangju. Pemberontakan ini dilakukan untuk mengubah Korsel menjadi negara yang lebih demokratis.

Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Pemberontakan Gwangju ini pun menjadi peristiwa sejarah. Sebab, peristiwa pemberontakan ini tercatat telah menewaskan ratusan jiwa.

Kenangan “gelap” inilah yang pada akhirnya menyebabkan trauma mendalam bagi warga Korsel ketika Presiden Yoon menetapkan status darurat militer pada Selasa lalu. Warga Korsel khawatir peristiwa serupa bak tragedi Gwangju terulang kembali di masa kini.

“Selama periode itu [1980-an], darurat militer digunakan sebagai alat untuk menekan gerakan demokrasi dan kebebasan sipil yang berpuncak pada peristiwa seperti pembantaian pemberontakan Gwangju,” jelas Iannone saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Rabu (4/12) WIB.

“Kenangan ini telah meninggalkan asosiasi yang langgeng antara darurat militer dengan penindasan daripada keamanan dan membuat setiap penerapan baru sangat tidak populer,” lanjutnya.

Bersambung ke halaman berikutnya…

Selain faktor sejarah, ada juga alasan lain yang dinilai membuat warga Korsel berdemo menolak status darurat militer.

Menurut Iannone, status darurat militer yang ditetapkan Presiden Yoon pada Selasa (3/12) bukan bertujuan untuk mengamankan Korsel dari ancaman komunis dan Korut, tetapi lebih cenderung bertujuan untuk mengamankan kekuasaannya sebagai presiden.

BACA JUGA:   Israel Bunuh Komandan Utama Milisi Jihad Islam Palestina di Tepi Barat

Sebab, belakangan, Yoon sering terlibat beberapa kasus skandal kontroversial yang membuat kepercayaan publik Korsel terhadapnya menurun drastis.

Oleh karena itu, kata Iannone, status darurat militer ini ditetapkan agar Yoon dianggap sebagai pahlawan negara yang ingin mengamankan Korsel dari ancaman komunis dan ancaman Korut.

Motif inilah yang kemudian membuat warga Korsel marah dan menolak status darurat militer.

“Deklarasi darurat militer di tengah dorongan pemakzulan terhadap pejabat kunci dan tuduhan diktator legislatif oleh oposisi menunjukkan kepada banyak orang bahwa ini lebih merupakan upaya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan daripada menanggapi keadaan darurat nasional yang sebenarnya,” tutur Iannone.

“Pandangan ini diperkuat oleh para pemimpin oposisi dan bahkan tokoh-tokoh di dalam partai Yoon sendiri yang mengkritik langkah tersebut sebagai inkonstitusional, memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap niat presiden,” tambahnya.

Potensi kudeta

Kemarahan publik Korsel imbas penetapan status darurat militer oleh Presiden Yoon ini kemungkinan bakal menyebabkan berbagai efek lanjutan. Salah satu di antaranya adalah potensi kudeta.

Yoon berpotensi dikudeta oleh warga Korsel dari kursi kepresidenan. Terlebih, warga Korsel juga sudah melakukan demo besar-besaran di kantor Majelis Nasional untuk mendesak sang presiden segara mundur.

Meski begitu, Iannone punya pandangan berbeda soal hal ini. Ia mengatakan, penolakan warga Korsel terhadap status darurat militer tidak akan menyebabkan kudeta di Korsel. Sebab, kata dia, masyarakat Korsel kini lebih demokratis dan mementingkan jalan musyawarah daripada konfrontasi untuk mencapai sebuah konsesi.

BACA JUGA:   Ini 2 Negara yang Dikecualikan Trump buat Setop Bantuan Luar Negeri AS

“Penolakan masyarakat terhadap darurat militer kemungkinan besar, menurut saya, tidak akan mengakibatkan kudeta langsung. Meski begitu, situasi ini dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi krisis institusional atau militer,” kata Iannone.

“Namun, konteks saat ini berbeda. Masyarakat Korea Selatan kini lebih demokratis, dengan lembaga-lembaga sipil dan opini publik yang berkomitmen aktif untuk membela prinsip-prinsip demokrasi. Reaksi cepat dari masyarakat, lembaga-lembaga seperti Majelis Nasional, dan tokoh politik membuat kecil kemungkinan terjadinya kudeta militer, meskipun ketegangan tetap tinggi,” tuturnya lagi.

Selain itu, Iannone juga menjelaskan bahwa keputusan Presiden Yoon untuk menetapkan status darurat militer di Korsel pada Selasa lalu tidak akan menyebabkan ia digulingkan. Apalagi, saat ini, ia juga telah mencabut status darurat militer tersebut.

Namun, hal berbeda bisa terjadi jika Yoon tidak mencabut status tersebut. Menurut Iannone, jika Yoon bersikukuh menetapkan status darurat militer, pihak oposisi bisa saja memakzulkan Yoon secara paksa dari kursi presiden.

“Menurut Pasal 77 Konstitusi Korea Selatan, presiden wajib mencabut darurat militer atas permintaan mayoritas parlemen, seperti yang terjadi beberapa jam setelah pernyataan Yoon,” jelas Iannone.

“Jika presiden menolak untuk menghormati ketentuan konstitusi atau terus memerintah dengan cara yang dianggap otoriter, pihak oposisi dapat memulai proses pemakzulan secara formal. Namun, bahkan jika proses pemakzulan dimulai, pemecatannya akan bergantung pada persetujuan Mahkamah Konstitusi, yang memiliki wewenang untuk membuat keputusan akhir,” kata dia lagi.







Source link

BERITA TERKAIT

BERITA POPULER