Production House Maxima Pictures bersama Rocket Studio Entertainment kembali menghadirkan karya terbaru mereka berjudul Jangan Panggil Mama Kafir, yang dijadwalkan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai hari ini. Film ini menjadi produksi ke-60 Maxima Pictures dan sekaligus menandai perayaan ulang tahun ke-21 rumah produksi tersebut di industri perfilman Tanah Air.
Disutradarai oleh Dyan Sunu Prastowo, film ini menyajikan kisah yang menggugah hati tentang cinta, perbedaan iman, serta janji dari kasih seorang ibu. Dengan tema besar yang menyentuh ranah keyakinan dan keluarga, Jangan Panggil Mama Kafir hadir bukan sekadar drama romantis, tetapi refleksi tentang makna cinta dan pengorbanan yang melintasi batas agama dan sosial.
Sinopsis Film Jangan Panggi Mama Kafir
Film ini mengisahkan Fafat (diperankan oleh Giorgino Abraham), putra seorang ustazah bernama Umi Habibah (Elma Theana), yang jatuh cinta pada perempuan nonmuslim bernama Maria (Michelle Ziudith). Meski hubungan mereka ditentang keras oleh keluarga Fafat, cinta keduanya tak surut. Mereka akhirnya menikah dan dikaruniai seorang putri bernama Laila (diperankan oleh Humaira Jahra).
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Fafat meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis, meninggalkan pesan terakhir kepada Maria agar membesarkan Laila sesuai ajaran Islam. Dari sinilah perjuangan Maria dimulai. Seorang ibu yang berusaha menepati janji suaminya, membesarkan anaknya dengan penuh kasih, sambil belajar memahami dan menghormati ajaran yang bukan keyakinannya sendiri.
Ketegangan muncul saat Umi Habibah menilai bahwa Maria, yang berbeda iman, tidak mampu mendidik Laila secara Islami. Pertentangan hak asuh pun menjadi inti konflik, sekaligus membuka ruang untuk refleksi mendalam tentang arti keibuan, iman, dan cinta tanpa syarat.
Isu yang Sensitif, Namun Digarap dengan Hangat
Film Jangan Panggil Mama Kafir dibintangi Michelle Ziudith dan Giorgino Abraham. Dok. Maxima Pictures
Meski mengangkat isu yang tergolong sensitif, perbedaan agama dan perebutan hak asuh Jangan Panggil Mama Kafir berhasil mengeksekusinya dengan baik. Cerita ini tidak sekadar bicara tentang perbedaan iman, tetapi lebih menyoroti hubungan antara ibu dan anak yang dilandasi cinta sejati. Film ini memadukan emosi yang kuat dengan alur yang fast-paced, namun tetap mampu menjaga intensitas emosional di setiap adegan. Keseriusan sutradara Dyan Sunu Prastowo dalam menjaga keseimbangan tone cerita terlihat jelas: Film ini tidak tenggelam dalam kesedihan, melainkan memberi ruang bagi penonton untuk merasakan kasih, tawa, dan harapan.
Akting Natural dan Chemistry Kuat
Salah satu kekuatan utama film ini adalah akting para pemerannya. Michelle Ziudith tampil luar biasa sebagai Maria, karakter yang kompleks, lembut, namun tegar. Giorgino Abraham berhasil memancarkan karisma Fafat dengan tulus, sementara Elma Theana memberikan nuansa antagonis pada sosok Umi Habibah, ibu yang keras dan berpegang teguh pada keyakinannya.
Chemistry antarpemain terasa alami dan meyakinkan, terutama antara Michelle Ziudith dan Humaira Jahra, yang memerankan ibu-anak. Hubungan keduanya terasa nyata dan menyentuh, membuat penonton mudah hanyut dalam dinamika emosi mereka. Pembangunan karakter Maria juga dilakukan dengan detail. Ia digambarkan sejak awal sebagai perempuan muda yang taat beragama, pekerja keras, dan berbakat seni, karakterisasi yang membuat transformasinya terasa lebih organik ketika ia mulai belajar memahami ajaran Islam demi anaknya.
Bumbu Komedi Mengimbangi Emosi dalam Cerita
Meski film ini emosional dan sensitif, tone-nya tidak melulu berat. Beberapa elemen komedi ringan disisipkan secara alami untuk menjaga keseimbangan suasana. Karakter Tante Yohana (diperankan oleh TJ Ruth) menjadi sumber humor yang segar. Dengan logat Bataknya yang ceplas-ceplos, ia kerap mencairkan situasi tegang tanpa terasa dipaksakan.
Salah satu adegan yang menghibur adalah saat Fafat mengungkapkan agamanya yang berbeda kepada Maria. Alih-alih menjadi adegan yang kaku atau sedih, momen ini justru disajikan dengan ringan dan jenaka, memperlihatkan kemampuan naskah dan penyutradaraan untuk memainkan emosi penonton dengan cerdas.
Metafora yang Kuat dan Narasi Penuh Makna
Film Jangan Panggil Mama Kafir. Dok. Maxima Pictures
Film ini juga kaya akan metafora visual. Salah satunya saat Umi Habibah mengunjungi galeri lukisan Maria dan mengatakan bahwa “lukisan berharga seharusnya ditempatkan di tempat yang tepat,” yang disambut Maria dengan pertanyaan retoris, “Di mana tempat yang tepat itu, di ruang tamu agar bisa dilihat orang?” Dialog ini menggambarkan perbedaan pandangan tentang nilai, cinta, dan keyakinan. Antara norma sosial dan makna sejati kebahagiaan.
Adegan penutup pun tak kalah simbolis dengan metafora yang dinarasikannya. Laila berkata bahwa kue yang mereka makan berbeda, tetapi rasanya sama-sama manis. Sebuah metafora indah tentang bagaimana perbedaan keyakinan tidak harus menghalangi kasih sayang antara ibu dan anak.
Kekurangan Kecil dalam Realisme Karakter Anak
Satu hal yang sedikit janggal adalah dialog Laila yang terkadang terasa terlalu dewasa untuk anak berusia lima tahun. Beberapa ucapannya yang menyinggung stigma sosial soal perbedaan agama terasa tidak realistis untuk anak seusianya. Meski demikian, hal ini tidak sampai merusak keseluruhan emosi dan pesan film.
Kesimpulan: Sebuah Drama Religi-Keluarga yang Realistis
Dengan durasi 110 menit, Jangan Panggil Mama Kafir bukan sekadar film tentang perbedaan iman, tetapi tentang cinta yang melampaui batas keyakinan. Dengan penyutradaraan yang sensitif, naskah yang hangat, serta penampilan aktor yang kuat, film ini berhasil mengajak penonton merenungkan arti kasih, toleransi, dan pengorbanan seorang ibu.