Jakarta, CNN Indonesia —
SeoragĀ remaja Palestina di Jalur Gaza, Sarah Al-Awady akhirnya berhasil mengeluarkan peluru karat yang bersarang selama empat bulan di kepalanya setelah insiden penembakan oleh pasukanĀ Israel pada Oktober 2024 lalu.
Dalam wawancara dengan CBS News, Al-Awady mengatakan bahwa ia mendapat peluru yang bercokol di kepalanya ketika sedang duduk bersama keluarganya di pagi hari tanggal 22 Oktober 2024. Saat itu, kamp tempat mereka mengungsi di Al-Zawaida diberondong oleh drone quadcopter Israel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Tiba-tiba saya merasakan sakit di kepala saya, seperti dipukul dengan batang besi atau semacamnya,” kata remaja perempuan usia 18 tahun itu kepada CBS News.
“Keluarga saya mulai berteriak, ‘peluru, peluru!’ Semua orang panik dan mereka menggendong saya dan membawa saya ke Rumah Sakit Shuhada al-Aqsa,” ucapnya.
CBS News telah bertanya kepada Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengenai penggunaan drone yang dilengkapi senjata di Gaza dan mengenai klaim Al-Awady bahwa ia terkena peluru saat berada di kamp.
Dalam sebuah pernyataan pada Rabu (12/3), IDF menyebut pihaknya “mematuhi hukum internasional, dengan hanya menargetkan fasilitas militer dan mengambil tindakan pencegahan yang sesuai untuk mencegah bahaya pada sipil.”
IDF mengaku tak bisa memberikan rincian tentang pesawat yang digunakan karena alasan keamanan. Militer juga menambahkan bahwa mereka tak bisa memberikan informasi mengenai klaim Al-Awady tanpa informasi spesifik mengenai waktu dan lokasi penembakan.
Pasca kejadian itu, Al-Awady dan keluarganya berupaya mencari pertolongan medis. Namun, karena kondisi perang yang mengakibatkan pasokan medis betul-betul menipis, para dokter hanya bisa melakukan apa yang mereka bisa dengan sisa-sisa peralatan yang ada.
Mereka bisa melihat bahwa ada peluru yang bersarang di tengkorak Al-Awady di belakang mata kanannya, namun mereka tak punya kapasitas untuk mengeluarkannya.
Al-Awady akhirnya diberitahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh para dokter di Gaza untuk membantunya.
Saat mendengar itu, Al-Awady menolak untuk menyerah. Ia bersikeras untuk tetap tinggal di rumah sakit demi menghindari infeksi karena jika tinggal di kamp, terlalu banyak debu di sana.
Al-Awady akhirnya tetap dirawat di rumah sakit dan mengandalkan obat penghilang rasa sakit untuk mengatasi sakit yang dideritanya di kepala.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Pada awal November, tim relawan medis menemukan Al-Awady dan yakin dapat membantu mengeluarkan peluru di kepalanya. Seorang dokter Mesir, Mohamed Tawfik, saat itu menelepon ayahnya yang merupakan dokter mata untuk meminta bantuan.
Ayah Dokter Tawfik, Ahmed Tawfik, mengatakan kepada CBS News bahwa dia ingin pergi ke Gaza untuk membantu namun tak bisa karena perbatasan Rafah ditutup. Perbatasan Rafah menghubungkan antara Mesir dan Palestina.
“Saya mengikuti kasus ini hampir setiap hari. Saya merasa ini adalah kasus saya,” kata Tawfik.
Waktu terus berjalan dan agresi Israel terus membara. Pada akhirnya Tawfik tak pernah bisa ke Gaza, dan putranya pun kembali ke Mesir.
Melihat kepergian Dokter Tawfik, Al-Awady mulai menyerah. Selama berbulan-bulan dia hidup dalam ketakutan bahwa dia akan kehilangan penglihatan di mata kanannya secara permanen.
“Saya mengajukan untuk dirawat di luar negeri, seperti yang dilakukan banyak orang lain. Ketika orang bertanya kepada saya, ‘Sudah berapa lama Anda menunggu?’ Saya jawab satu bulan, dan mereka akan merespons ‘Lupakan saja, kami sudah menunggu lebih lama,” ucapnya.
Secercah harapan akhirnya datang sekitar tiga bulan kemudian. Hamas dan Israel sepakat untuk gencatan senjata yang mulai berlaku efektif pada 19 Januari 2024.
Pada 8 Februari, ketika Al-Awady telah kembali ke rumahnya di utara Gaza, dia menerima telepon dari Organisasi Kesehatan Dunia bahwa ia akan berangkat keesokan harinya ke Mesir.
Ia pun berangkat dan tiba di Mesir keesokan harinya. Dokter Tawfik membawanya ke rumah sakit tempatnya bekerja di Al-Sharqia Governorate.
Tiga tim yang terdiri dari dokter mata, dokter bedah saraf, dan radiologi mendiskusikan bagaimana cara mengeluarkan peluru tanpa mengenai saraf optik.
“Kami menjalankan beberapa simulasi untuk menemukan rute terbaik demi menghindari saraf optik,” kata Dr. Mohamed Khaled Shawky, dari Pusat Radiologi Al Nour, kepada CBS News.
“Peluru itu mendarat di tempat terbaik untuk pasien, tetapi tempat terburuk untuk tim medis,” kata Shawky.
Shawky berujar jika saja peluru itu bergerak satu milimeter ke arah mana pun, itu akan mengakibatkan kerusakan besar.
Para dokter pun sepakat untuk mencoba mencapai peluru dengan masuk melalui rongga mata Al-Awady, demi menghindari kerusakan otaknya.
Dokter Tawfik berterus terang kepada Al-Awady bahwa ada 50 persen kemungkinan operasi berhasil, risiko pendarahan internal, hingga risiko Al-Awady kehilangan penglihatannya sepenuhnya.
“Saya menangis. Saya sangat takut, tetapi saya berdoa dan menerima risikonya,” katanya.
“Tim medis yang luar biasa mencoba yang terbaik untuk meningkatkan semangat saya, untuk membuat saya siap secara psikologis, dan mereka melakukannya. Saya memasuki ruang operasi sambil tertawa dan penuh kegembiraan,” kata Al-Awady.
Operasi akhirya dilakukan minggu lalu, dan berlangsung sukses. Tawfik mengaku amat terkejut dengan jumlah infeksi dan abses yang disebabkan oleh peluru, yang telah berkarat dari waktu ke waktu di dalam kepala Al-Awady.
“Dia sangat stabil sekarang, dan dia minum obatnya dan menjadi lebih baik,” kata Tawfik kepada CBS News.
“Tujuan saya adalah pertama untuk mengakhiri rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi dan, kedua, untuk mempertahankan tingkat penglihatannya saat ini. Saya berharap setelah kami menangani ablasi retina, penglihatannya akan membaik,” lanjutnya.