Friday, November 21, 2025
Google search engine
HomeHiburanSengkarut Sistem Royalti Musik di ASEAN Belum Bisa Diatasi

Sengkarut Sistem Royalti Musik di ASEAN Belum Bisa Diatasi

PLATFORM musik berlisensi USEA Global yang berbasis di Singapura, menyoroti sengkarut royalti di Indonesia dan membandingkannya dengan praktik sistem di beberapa negara. Jerry Chen, CEO USEA Global mengatakan terdapat dana royalti tidak diklaim (uncollected fund) dalam jumlah besar, dengan sebagian besar penggunaannya tidak transparan sehingga menurunkan kepercayaan publik.

Pernyataan Jerry itu merujuk pada pernyataan LMKN bahwa terdapat dana Rp 24 Miliar royalti yang tidak diklaim. Mayoritas karena lagu tradisional seperti “Cublak Cublak Suweng” karya Sunan Giri. “Berdasarkan standar global, saya belum pernah mendengar Anda perlu memutar lagu domain publik berbayar. Belum pernah seumur hidup saya,” kata Jerry, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Senin, 19 November 2025.

BACA JUGA:   Pasangan Suami-Istri Ditemukan Tewas di Jakbar

Ia mengatakan secara global, lagu-lagu domain publik tidak dikenakan royalti sehingga bisnis tidak dibebani biaya untuk karya yang sudah melewati masa perlindungan hak cipta. “Misalnya kita membunyikan lonceng, lagu-lagu Natal, kebanyakan sudah berusia berabad-abad,” ucapnya. Begitu pula dengan Mozart, Beethoven. “Musik-musik klasik ini juga luar biasa. Jadi, pada dasarnya, lagu-lagu domain publik gratis kecuali kalian mengaransemen ulang. Tapi, sering kali, basis utamanya gratis,” ujar Jerry Chen.

Sistem Royalti Musik di Negara Lain

Jerry menuturkan sistem royalti di beberapa negara misalkan percobaan unifikasi LMK di Malaysia dan Filipina gagal dalam waktu singkat karena konflik internal dan resistensi antarorganisasi. Thailand menjadi contoh ekstrem, dengan memiliki 26–28 LMK yang aktif, menciptakan fragmentasi yang jauh lebih kompleks dari negara lain di kawasan Asia Tenggara.

BACA JUGA:   DJPb Catat Kinerja APBN 2024 di Sumbar Tumbuh Positif pada Momentum Pemilu

Di banyak negara, kata Jerry, pemerintah hanya berperan sebagai badan konsultatif dan tidak turun langsung mengelola atau memungut royalti. “Tidak ada negara ASEAN yang berhasil membangun platform kolektif tunggal untuk penarikan dan distribusi royalti secara terpadu,” tuturnya.

Jerry menuturkan di Malaysia, dulu punya Music Authors’ Copyright Protection (MACP) dan Music Authors’ Copyright Protection (PPM). Merea juga punya Recording Performers Malaysia (RPM) yang memungkinkan pemerintah mendorong agar bergabung di bawah satu entitas. “Politik ikut campur. Musisi, kreator musik berada dalam industri kreatif. Ego dan kebanggaan mereka lebih tinggi daripada kebanyakan orang lain di industri lain sebagai perbandingan,” tuturnya.

Melihat perspektif demikian, kata dia, maka tampak kegagalan yang datang dari intervensi pemerintah. Karena itu, Malaysia kembali ke model Wami dan LMK individual yang ada, seperti di Indonesia. “Di kawasan ini, belum ada yang berhasil sebelumnya. Filipina, juga mencoba melakukan ini secara kolektif. Itu gagal selama bertahun-tahun,” kata dia.

BACA JUGA:   Konser Dua Lipa di Jakarta Batal, Begini Cara Refund Tiketnya | tempo.co

Source link

BERITA TERKAIT

BERITA POPULER