SENIMAN suara asal Indonesia, Rani Jambak, menampilkan instrumen rancangannya berjudul Kincia Aia: A Living Heritage dalam tur enam kota di Kanada pada musim gugur 2025. Aktivis ekologi berdarah Minangkabau ini tidak hanya memamerkan musik elektronik eksperimental, namun juga membawa pesan tentang krisis global yang dihadapi dunia modern.
Pilihan Editor: Rani Jambak, Eksotisme Musik Kincir Air
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Instrumen yang dibawa Rani berupa sebuah kincir air tradisional Minangkabau yang dimodifikasi menjadi alat musik. Ia mengubah kincir air yang secara tradisional digunakan masyarakat Sumatera Barat menjadi instrumen sonik interaktif.
Futurisasi Kincia Aia
Secara historis, Kincia Aia adalah teknologi leluhur Minangkabau yang digunakan untuk mengairi sawah dan menumbuk bahan makanan dengan memanfaatkan energi kinetik dari aliran air. Lebih dari sekadar alat, “kepemilikannya yang bersifat komunal menjadikannya simbol hubungan harmonis antara manusia dan alam,” demikian naskah video Rani.
Namun, bangkitnya teknologi mekanis dan perubahan lingkungan telah mendorong Kincia Aia ke ambang kepunahan. Rani merespons hal ini dengan menciptakan “futurisasi Kincia Aia,” di mana replika kincir air dilengkapi 10 alu-alu atau penumbuk kayu yang masing-masing dilengkapi sensor untuk memicu suara dan sampel elektronik yang berbeda.
“Air adalah kunci bagi Minangkabau; ia adalah pengarsip memori. Tapi sekarang, krisis iklim membuat sungai kita kering, dan kami menemukan mikroplastik di Sungai Batang Agam,” ujar Rani dalam salah satu sesi diskusinya. “Jadi, Kincia Aia ini adalah cara saya untuk membuat suara peringatan.”
Dalam komposisinya, seniman yang tinggal di Lasi, Agam, Sumatera Barat ini memadukan lanskap suara Minangkabau dengan sampel elektronik sebagai reinterpretasi modern Kincia Aia oleh generasi kontemporer. Tindakan ini berfungsi tidak hanya sebagai pelestarian kearifan leluhur, tetapi juga sebagai kritik terhadap kondisi alam yang semakin mengkhawatirkan.
Seniman Rani Jambak menampilkan instrumen Kincia Aia: A Living Heritage di Venus Fest, Kanada. Foto: Green Yang
Perlawanan dan Jembatan Lintas Budaya
Perjalanan Rani di Kanada dibuka di Guelph Jazz Festival pada pertengahan September 2025. Puncak keikutsertaannya adalah pertunjukan tunggal Kincia Aia pada Ahad, 14 September 2025, yang didahului oleh diskusi mendalam Wet Sounds Series oleh Musagetes Foundation. Diskusi ini berpusat pada bagaimana seniman melihat karya mereka dalam konteks krisis global.
Rani menegaskan bahwa musiknya adalah sebuah ruang perlawanan dan jembatan lintas budaya. Pada Sabtu, 13 September 2025, ia juga sempat berkolaborasi dalam pertunjukan langsung dengan duo perkusi elektronik Turning Jewels into Water.
Dari Guelph, tur berlanjut ke Toronto, yang meliputi sesi media dan akademis. Rani Jambak melakukan wawancara di CBC Toronto pada Jumat, 19 September 2025. Keesokan harinya, ia membuka festival SOUNDplay di NAISA (New Adventures in Sound Art), South River. Festival ini secara khusus berfokus pada dampak perubahan iklim terhadap air, relevan dengan pertunjukan Kincia Aia. Di sini, musik elektronik Rani yang menggabungkan soundscapes dari alam Indonesia menjadi suara peringatan lingkungan yang mendesak.
Tur kemudian bergerak ke Venus Fest di Allan Gardens pada Kamis, 25 September 2025. Tur diakhiri dengan perjalanan ke Montreal, Ottawa, dan Hamilton. Pada Jumat, 26 September 2025, Rani tampil di Casa del Popolo sebagai bagian dari festival Pop Montreal. Keesokan harinya, ia berada di Pique di Ottawa.
Rani menutup turnya pada Ahad, 28 September 2025 di Strangewave Fest Hamilton, dalam acara Strange Streak: Subliminal Sunday. Ia berbagi panggung dengan duo eksperimental SSSY dan aktivis Cody Lookinghorse dari Six Nations of the Grand River. “Ketika Cody berbicara tentang tanah dan air, saya mendengar Minangkabau. Ada energi yang sama, kepedulian yang sama. Musik kami menjadi cara untuk berbagi kekuatan itu,” ungkap Rani.
Warisan yang Menggema
Tur Kincia Aia di Kanada bukanlah sekadar rangkaian konser. Ia menjelma menjadi proyek multidisiplin yang menyatukan performa, penelitian, aktivisme, dan pendidikan. Rani menempatkan suara Minangkabau dalam percakapan global tentang ekologi, warisan, dan masa depan.
Setelah tur tersebut, Rani Jambak telah kembali ke Indonesia, melanjutkan aktivitas studi doktoralnya di Yogyakarta sekaligus terus berkontribusi pada ekosistem kesenian lokal. Sementara itu, Kincia Aia kini akan hadir dalam bentuk seni instalasi interaktif di acara budaya Babak II Biennale Jogja 18: Kawruh Lelaku, yang berlangsung pada 5 Oktober hingga 20 November 2025.
Biennale Jogja edisi ini mengusung tema Kawruh, pengetahuan yang lahir dari tubuh, tanah, dan praktik hidup, serta menghadirkan lebih dari 60 seniman dari Indonesia, Asia, dan Eropa. Acara ini diselenggarakan di Yogyakarta, serta di ruang-ruang publik di Desa Bangunjiwo dan Desa Panggungharjo, Bantul.Â
Dalam Biennale Jogja, seni instalasi Kincia Aia akan dipamerkan di The Ratan, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sawon, Kabupaten Bantul. Dengan keikutsertaannya, karya Rani kembali beresonansi di tengah masyarakat, sekaligus membuka ruang dialog tentang ekologi dan warisan budaya dalam konteks global.
Lebih dari seorang komposer, melalui karyanya Rani Jambak membawa pesan pengingat bahwa seni dapat menjadi ruang perlawanan, refleksi, sekaligus jembatan budaya. Suara Kincia Aia bukan hanya milik Minangkabau, tetapi kini juga milik dunia, sebuah warisan yang hidup, terus berputar bersama arus zaman.
Pilihan Editor: Komposisi Kincir Air Rani

