KAMERA bergerak lambat, membingkai suatu objek selama 30 detik hingga dua menit, kemudian bergerak lagi ke objek lainnya. Bangunan tinggi menjulang, trotoar jalan, pedestrian, dan lainnya yang terlihat menggambarkan Bangkok, Thailand. Profesi sebagai karyawan kantoran departemen sumber daya manusia atau HRD menjadi pintu masuk film Human Resource (2025) karya sutradara Nawapol Thamrongrattanarit.
Fren (Prapamonton Eiamchan), seorang perempuan yang bekerja sebagai HRD di perusahaan yang tidak sehat. Ia mewawancarai calon karyawan muda yang baru lulus kuliah, lalu merasa bersalah saat mengatakan mereka tak bisa membayar sesuai dengan kapasitas si pelamar kerja. Perasaan limbo dan kejenuhannya diperkuat dengan kondisinya yang diam-diam sedang hamil satu bulan.
Ide Nawapol Thamrongrattanarit Bikin Human Resource
Sebagai istri, Fren justru lebih berpikir logis ketimbang suaminya (Paopetch Charoensook) yang terlanjur senang bukan main mengetahui istrinya sedang mengandung. Sementara Fren saban hari memikirkan bagaimana jadinya mempunyai anak dalam keadaan sulit dan tinggal di perkotaan.
Nawapol mengatakan ide film ini berangkat dari hal paling personal bagi dirinya saat berusia 40 tahun menimbang-nimbang apakah harus memiliki anak atau tidak. “Ide ini berlanjut dengan pertanyaan lain tentang arti kelahiran di dunia, dan saya rasa topik ini cukup menarik dan penting bagi semua orang. Karena ini cukup sensitif dan tidak memiliki jawaban yang tepat,” katanya dalam acara Jakarta World Cinema di CGV Grand Indonesia, Jakarta pada Ahad, 28 September 2025.
Dengan pendekatan awal demikian, Nawapol kembali membuat film yang punya warna sama dengan Happy Old Year (2019) atau Mary Is Happy, Mary Is Happy (2013), namun dengan medium yang berbeda. “Mungkin karena saya lebih tua sekarang dan saya memiliki banyak pengalaman, kadang-kadang saya mencoba menemukan penyelesaian yang baik untuk menangani sistem seperti ini. Tapi kadang-kadang, saya menemukan jawaban dan saya pikir sangat sulit untuk memiliki jawaban yang benar untuk sistem seperti ini,” tuturnya.Sutradara asal Thailand, Nawapol Thamrongrattanarit, saat menghadiri acara Jakarta World Cinema 2025 untuk pemutaran filmnya Human Resource di CGV Grand Indonesia, Jakarta pada Minggu, 28 September 2025. Dok. JWC
Ia menerangkan bahwa perasaan yang dipikul Fren sejatinya dampak dari sistem yang sangat terstruktur, dan sebab itu pula bisa terhubung dengan hampir semua penonton di negara Asia Tenggara yang punya kondisi mirip. Namun kondisi-kondisi dan detail perasaan itu terlihat secara subtil sehingga sulit disadari individu. “Ini berada di setiap sudut ruangan kita, di apartemen, di mana saja. Terkadang kita menyadarinya dan menganggapnya sebagai aktualisasi diri. Itu hal yang baik,” ujar Nawapol.
Untuk memenuhi narasi film, ia pun melakukan riset dengan bertanya kepada orang-orang yang memiliki anak atau beberapa teman yang bertujuan memiliki anak.
Soroti Kesehatan Mental
Lebih dari itu, Human Resource juga menyoroti isu kesehatan mental hampir di tiap karakternya. Selain Fren, karyawan muda yang ia terima kerja kedapatan menangis di lift dan merasa tertekan dengan pekerjaannya. “Mereka bilang, mereka tidak akan menunjukkan kalau mereka sakit dan merendahkan diri. Mereka pasti terlihat tegar dan baik-baik saja. Tapi kita bisa lihat, terkadang mereka bisa mengambil keputusan tiba-tiba dengan berhenti bekerja misalnya,” katanya.
Potret situasi tak menguntungkan lainnya ditumpukan Nawapol dalam karakter Fren, saat mengetahui dirinya jenuh dan stres namun terpaksa bekerja agar tetap memiliki uang. “Di kehidupan saat ini, terkadang orang merasa bersalah jika tidak melakukan sesuatu, saya bisa merasakannya,” kata sutradara Heart Attack (2015) itu.
Dalam beberapa adegan, Human Resource juga menyajikan fenomena sehari-hari yang terjadi di Bangkok, yang tanpa disadari mirip dengan Jakarta. Misalnya saat pengendara motor melawan arah padahal jalur satu arah. Masih tentang berkendara, Fren dan suaminya juga mengomentari pengendara yang memutar balik padahal ada larangan memutar balik di titik jalan itu. “Awalnya saya tak memikirkan akan terhubung ke negara lainnya karena ini pertama kalinya juga film saya ini diputar di negara di Asia Tenggara. Tapi itulah realitanya sehari-hari di Bangkok,” kata Nawapol.
“Saya berharap ketika saya menampilkan film ini ke festival lain di Hong Kong, Taiwan, mungkin ke depannya, saya bisa menerima lebih banyak informasi dari penonton di negara-negara lain. Tapi bagi orang Asia Tenggara, kita memiliki budaya tersebut, dan kita berbagi perasaan yang sama,” katanya. Ia mengatakan kondisi Indonesia mirip dengan Thailand, ada demonstrasi rutin dalam lima tahun terakhir, namun tiba-tiba berhenti. Kemudian masyarakat mencoba lagi mengubah sistem, dan itu metode bagi generasi baru untuk mengubah masa depannya.
Sekolah Internasional di Kota Besar
Ada pula fenomena yang sama lainnya, yakni kehadiran sekolah internasional di kota-kota besar. Fren dan suaminya, membuat daftar tunggu di sekolah internasional berbiaya mahal. Suaminya, optimis jika anaknya sudah lahir mereka akan mampu membiayai pendidikan terbaik meski pihak sekolah memperingati biaya daftar tunggu tidak bisa dikembalikan. “Menurut saya, ini cukup umum untuk beberapa kalangan. Tapi semuanya ingin anak-anak mereka bersekolah di tempat terbaik yang umumnya menggunakan bahasa Inggris,” kata Nawapol.
Lebih dari itu, ciri khas film-film Nawapol adalah penerapan slow-paced movies, membuat penonton intens terhadap apa yang tampak baik dari segi cerita dan karakter, hingga memahami konteksnya yang tak tampak. “Dalam film ini, intonasi ketenangan kamera menyangkut ceritanya. Tiap sorotan kamera punya inspirasinya sendiri. Misalnya membingkai pembakaran jenazah dalam proses kremasi dan tersisa hanya debu. Saya mencoba membuat penonton menganalisa lagi arti kehidupan,” katanya.
Nawapol pun menyadari jenis film-filmnya terbilang tersegmentasi, dan tidak mengharapkan semua orang harus menikmati film-filmnya termasuk Human Resource. Tapi dirinya mencoba untuk menjangkau pelbagai lapisan penonton. “Kami mencoba mencari penonton yang tepat karena mereka bisa merepresentasikan film kami, seperti dari mulut ke mulut mungkin. Saya tidak akan membuat film seperti ini selama-lamanya, mungkin film berikutnya akan berubah lagi,” ujarnya.

