SENIMAN teater di Sumatera mengkritik isu lingkungan dalam medium Festival Teater Sumatera (FTS) ke-3 yang mengangkat tema “Pangan: Tanah, Air, dan Ingatan”. Festival ini digelar selama dua hari pada 24-25 September 2025, di Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan.
Melalui pertunjukan teater, hampir seluruh komunitas menampilkan kritik soal lingkungan, khususnya dari masing-masing perwakilan setiap provinsi. Seperti Komunitas Seni Budaya (KSB) Rumah Sunting dari Provinsi Riau yang membawakan penampilan berjudul Datuk Pagar.
Representasi Masyarakat Riau
Sutradara KSB Rumah Sunting, Kunni Masrohanti, mengatakan Datuk Pagar dalam cerita yang ditampilkan merupakan seorang tokoh adat yang dianggap bisa berkomunikasi dengan Tuk Bolang (Harimau Sumatera). “Tapi yang sekarang sudah tinggal anak keturunan beliau (Datuk Pagar) yang saat ini sedang berjuang untuk menjaga tanah ulayat dan masyarakat adat,” kata Kunni kepada Tempo, Rabu, 24 September 2025.
Kunni menegaskan, penampilan teaternya bukan hanya cerita belaka, melainkan representasi masyarakat Riau itu sendiri. Faktanya, kata dia, masyarakat adat di Riau memang sedang mengalami hal yang cukup memprihatinkan. “Mereka kehilangan tanah ulayatnya, sementara banyak pihak lain yang masuk. Sering terjadinya keributan masyarakat dengan perusahaan bahkan pemerintah,” ujarnya.
Dalam pertunjukan berdurasi 40 menit, KSB Rumah Sunting menyampaikan kritik terhadap ekspansi lahan perkebunan dan tambang oleh perusahaan di Riau yang menyebabkan hilangnya adat istiadat. Ekspansi lahan itu juga membuat jalur satwa, seperti harimau, perlahan hilang.
Soroti Krisis Pangan
Pertunjukan teater Komunikasi Berkat Yakin, Lampung, berjudul “Hilang Huma(n): Sebuah Esai Perfomatif” dalam Festival Teater Sumatera ke-3 di Taman Budaya Palembang, 24 September 2025. Tempo/Yuni Rahmawati
Tak hanya KSB Rumah Sunting, empat kelompok lainnya juga mengkritik hal serupa. Seperti Komunitas Berkat Yakin dari Provinsi Lampung dengan penampilan berjudul Hilang Huma(n); Sebuah Esai Performatif yang disutradarai Ari Pahala Hutabarat.
Dalam penampilannya, Komunitas Berkat Yakin mengkritik cepatnya krisis pangan di Indonesia, yang didorong alih fungsi lahan akibat ekspansi perkebunan, penanaman monokultur, serta hilangnya pengetahuan lokal kolektif masyarakat adat.
Di tengah-tengah penampilan, komunitas ini juga mengkritik agar Kementerian Kebudayaan berperan memberi perlindungan bagi pengetahuan lokal masyarakat adat yang rentan hilang tergerus proyek food estate. Mereka juga menekankan pentingnya mengkaji kearifan lokal sebagai syarat mutlak dalam proyek yang mengganggu wilayah adat.
Pertunjukan Teater Air, Jambi, berjudul “Manifesto Dapur Retak” dalam Festival Teater Sumatera ke-3 di Taman Budaya Palembang, 24 September 2025. Tempo/Yuni Rahmawati
Selain itu, ada Teater Umak dari Palembang dengan judul Kentut, yang bercerita tentang pemulung yang hampir mati kelaparan, sambil menyampaikan kritik lingkungan soal lumbung pangan. Sama halnya dengan Teater Air dari Provinsi Jambi yang membawakan Manifesto Dapur Retak. Teater ini mengkritik hilangnya kebiasaan memasak dan gotong royong masyarakat Jambi yang digantikan budaya fast food atau makanan instan. Teater Air juga menyoroti isu swasembada pangan dan makan bergizi gratis.
Kritik Produk Hasil Perusakan Lingkungan
Terakhir, acara hari pertama ditutup oleh Teater Potlot, tuan rumah dari Provinsi Sumatera Selatan. Mereka menampilkan pertunjukan berjudul Puyang; Minyak Goreng dan Tisu Toilet, dengan kritik tajam soal produk hasil perusakan lingkungan.
Minyak goreng, misalnya, berasal dari kebun sawit yang merusak hutan hingga menghilangkan sebagian besar kawasan hutan di Indonesia, khususnya Sumatera Selatan. Begitu pula dengan tisu toilet yang merupakan hasil penebangan pohon, padahal pohon merupakan sumber kehidupan bagi manusia maupun hewan.
Sementara itu, lima kelompok teater lainnya tampil pada hari kedua, Kamis, 25 September 2025. Mereka adalah Teater Seinggok Sepemunyian dari Prabumulih, Sumsel dengan pertunjukan berjudul Beume; Komunitas Senin Nan Tumpah dari Padang Pariaman, Sumbar dengan judul Indomiii Rasa Rendang/Sambil Menyelam Minum Plastik; Komunitas Seni Hitam Putih dari Sumatera Barat dengan pertunjukan Surat Tanpa Alamat; Medan Teater dari Sumatera Utara dengan Meja Makan Mikir Mikir; serta Teater Senyawa dari Bengkulu dengan Sesaji Ilusi.
Pilihan Editor: Transpuan di Panggung Sandiwara

