Jakarta, CNN Indonesia —
Dua jurnalis menjadi korban intimidasi dan kekerasan aparat saat meliput aksi tolak UU TNI di sekitar Gedung Negara Grahadi, Surabaya pada Senin (24/3) malam.
Mereka adalah Rama Indra jurnalis media daring Beritajatim.com, dan Wildan Pratama reporter radio Suara Surabaya atau SuaraSurabaya.net.
Rama mengatakan kekerasan yang dialaminya bermula saat ia merekam tindak represif aparat ke massa aksi di Jalan Pemuda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Saya merekam polisi berseragam dan tidak berseragam menangkap dua orang massa pedemo. Polisi berjumlah lima sampai enam orang kemudian memukul, mengeroyok, dua orang pendemo hingga tersungkur dan menginjak badan mereka,” ujar Rama.
Aksi Rama itu kemudian diketahui oleh polisi. Dia lantas didatangi tiga sampai empat aparat berpakaian kaus dan berseragam. Mereka memaksa Rama untuk menghapus rekaman video aksi kekerasan polisi ke massa aksi.
“Tiga sampai empat orang polisi berseragam barikade dan tidak berseragam menghampiri saya, dan memaksa saya untuk menghapus rekaman video itu, sambil memukul kepala saya, serta menyeret saya,” ucapnya.
Rama mengaku telah menjelaskan identitasnya sebagai jurnalis, ia juga sudah memakai kartu identitas (id card) wartawan. Namun, para polisi itu tak menggubrisnya.
“Saya sudah menyampaikan bahwa saya adalah reporter dari beritajatim.com dan sudah mengenakan id card di leher. Namun, kelompok polisi saat itu tidak menghiraukan dan mereka ini berteriak suruh hapus video pemukulan ke massa aksi,” ucap Rama.
Mereka juga merebut ponselnya, hingga akhirnya melayangkan beberapa kali pukulan ke kepala Rama, bahkan dengan kayu.
“Mereka merebut handphone saya, dan masih berteriak memanggil rekan polisi lain, bahkan handphone saya diancam akan dibanting. Setelah itu, kepala saya dipukul beberapa kali dengan tangan kosong dan juga kayu di daerah kepala,” ucapnya.
Dua jurnalis lain yang mengetahui keberadaan Rama kemudian berusaha melerai. Namun akibat kejadian itu kepala Rama mengalami memar, pelipis kirinya terluka dan bibirnya lecet.
Sementara itu, jurnalis Suara Surabaya, Wildan Pratama mengaku mengalami intervensi aparat saat meliput di Gedung Negara Grahadi, ketika mengambil gambar massa aksi yang ditangkap.
“Untuk memastikan jumlah orang yang diamankan saya mencoba masuk ke Grahadi, saya mencoba mencari di mana massa aksi yang diamankan,” ujar Wildan.
Wildan kemudian menemukan sejumlah massa aksi yang sedang didudukkan berjejer di salah satu sudut timur Grahadi. Jumlahnya sekitar 25 orang.
“Saya mencoba mengambil gambar mereka. Namun tidak lama setelah itu seorang anggota polisi mendatangi saya,” ucapnya.
“Dia menjelaskan bahwa massa aksi yg diamankan masih diperiksa. Kemudian polisi itu meminta saya menghapus dokumen foto itu sampai ke folder dokumen sampah. Sehingga dokumen foto saya soal massa aksi diamankan hilang,” pungkas Wildan.
Seperti diketahui aksi tolak UU TNI di Gedung Grahadi Surabaya, Senin (24/3) berjalan ricuh. Sejumlah orang yang belum terkonfirmasi sebagai massa aksi melakukan lemparan botol plastik, batu dan molotov ke arah Gedung Grahadi.
Belum ada keterangan dari pihak resmi siapa yang memulai pelemparan tersebut. Selain itu juga belum terkonfirmasi apakah sekelompok orang yang melempari molotov, batu dan kembang api itu adalah bagian dari massa aksi atau bukan.
Polisi kemudian menembakkan water cannon dan mengerahkan ratusan personel Brimob serta Dalmas untuk memukul mundur massa aksi.
Dikonfirmasi soal itu, Kasi Humas Polrestabes Surabaya AKP Rina Shanty Dewi membantahnya. Ia menyebut pihaknya tak melakukan intimidasi dan kekerasan ke jurnalis yang bertugas.
“Enggak ada,” ujar Rinas saat dikonfirmasi.
Puluhan orang berpakaian kaus yang diduga aparat kepolisian juga mulai menangkap massa aksi di sekitar Gehadi, di Jalan Gubernur Suryo, Jalan Pemuda dan Jalan Yos Sudarso.
Penangkapan pertama dilakukan pukul 17.20 WIB. Setidaknya hingga pukul 19.00 WIB, ada 25 orang massa aksi yang ditangkap.
“Jangan mencederai demokrasi ini, kami perintahkan agar anda membubarkan diri. Apabila kami melakukan tindakan tegas akan ada banyak korban berjatuhan,” ujar Kasat Samapta Polrestabes Surabaya AKBP Teguh Santoso melalui pengeras suara.
(frd/sfr)